Pengunjung

Kamis, 27 Desember 2018

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 71




Buletin Dakwah Kaffah Edisi 71
[20 Rabiul Akhir 1440 H | 28 Desember 2018]

Muhasabah Akhir Tahun 2018

SAATNYA BERUBAH,
AGAR MUSIBAH BERBUAH BERKAH
Sedih... Pedih... Perih.... Mungkin itulah kata-kata yang bisa mewakili ragam duka, luka, dan nestapa bangsa ini akibat musibah yang bertubi-tubi. Belum reda duka Lombok akibat gempa, muncul duka baru: gempa Palu. Belum berakhir duka Palu yang membuat pilu, kini muncul tsunami Banten yang juga memakan banyak korban. Kali ini lebih dari 200 orang meninggal. Ratusan terluka. Ratusan lainnya lagi hilang. Tsunami Banten seolah menjadi bencana penutup akhir tahun 2018 dari rentetan bencana yang melanda negeri ini. Khususnya dalam setahun terakhir ini.
Sikap Benar Menghadapi Musibah
Sebagai Muslim, kita tentu harus menyikapi aneka musibah secara benar sesuai dengan tuntunan syariah. Karena itu hakikat musibah ini harus betul-betul kita pahami.
Secara umum musibah ada dua macam. Pertama: Musibah karena faktor alam yang merupakan bagian dari sunatullah atau merupakan qadha (ketentuan) dari Allah SWT yang tak mungkin ditolak. Misalnya musibah gempa bumi, gunung meletus, tsunami, dll. Di antara adab dalam menyikapi qadha ini adalah sikap ridha dan sabar baik bagi korban ataupun keluarga korban. Bagi kaum Mukmin, qadha ini merupakan ujian dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut dan kelaparan. Juga berkurangnya harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar (TQS al-Baqarah [2]: 155).
Orang yang berakal akan menjadikan sikap sabar sebagai pilihannya dalam menyikapi musibah. Ia ridha terhadap qadha dan takdir Allah SWT yang menimpa dirinya tanpa berkeluh-kesah (Al-Jazairi, Mawsûah al-Akhlâq, 1/137).
Apalagi musibah apapun yang menimpa seorang Mukmin, besar atau kecil, bisa menjadi wasilah bagi penghapusan dosa-dosanya. Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَ
“Tidaklah seorang Muslim tertimpa musibah hingga tertusuk duri kecuali Allah pasti menghapus dosa-dosanya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Tentu, dosa-dosa terhapus dari orang Mukmin yang tertimpa musibah jika ia menyikapi musibah itu dengan keridhaan dan kesabaran (Lihat: Ibn Qudamah al-Maqdisi, Mukhtashar Minhâj al-Qâshidîn, 1/272).
Kedua: Musibah yang merupakan akibat dari berbagai kemaksiatan manusia dan pelanggaran mereka terhadap syariah Allah SWT. Terutama yang dilakukan oleh para penguasa dalam wujud berbagai tindakan zalim yang mereka lakukan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan tangan (kemaksiatan) manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan (kemaksiatan) mereka itu agar mereka kembali (ke jalan-Nya) (TQS ar-Rum [30]: 41).
Musibah banjir, misalnya, bisa jadi karena banyak manusia melakukan kemaksiatan dan pelanggaran. Salah satunya menggunduli hutan dengan cara semena-mena.
Contoh lain adalah musibah kemiskinan yang menimpa bangsa ini, justru di tengah-tengah kekayaan negeri ini yang melimpah-ruah. Jelas, kemiskinan di negeri ini antaranya merupakan akibat rezim ini secara zalim menyerahkan sebagian besar kekayaan alam milik rakyat kepada pihak swasta bahkan asing. Contohnya jutaan ton tambang emas di Papua. Berpuluh-puluh tahun tembang tersebut sebagian besarnya dinikmati oleh perusahaan asing, PT Freeport. Bukan dinikmati oleh rakyat negeri ini. Bahkan Rakyat Papua, di tengah limpahan emas, tembaga dll, malah banyak yang hidup miskin.
Kemiskinan di negeri ini juga diakibatkan oleh karena negeri ini terjerat utang ribawi. Saat ini utang tersebut nyaris menyentuh angka Rp 5.000 triliun, dengan bunga yang harus dibayar setiap tahun lebih dari Rp 100 triliun. Akibatnya, pendapatan negara yang seharusnya bisa digunakan untuk mengatasi kemiskinan, terpakai untuk membayar utang ribawi berikut bunganya.
Demikian pula musibah lain dalam bentuk bencana moral seperti maraknya perzinaan, LGBT, dll. Musibah ini lalu melahirkan ragam bencana lain berupa penyakit yang sulit diobati. Di antaranya HIV/AIDS.
Maraknya riba, yang pelaku utamanya adalah negara, dan zina yang juga dibiarkan oleh negara, boleh jadi menjadi penyebab datangnya azab Allah SWT atas negeri ini. Sebagaimana sabda Nabi saw:
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَ الرِّبَا فِي قَرْيَةٍ فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ
Jika zina dan riba telah merajarela di suatu negeri, berarti mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri (HR al-Hakim, Al-Mustadrak, 2/42).
Musibah/bencana jenis kedua ini sebetulnya bisa dihentikan. Bahkan bisa dicegah. Caranya: Pertama, dengan melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap pelaku kemaksiatan atau kezaliman. Kedua, menerapkan hukuman yang tegas terhadap pelaku kejahatan dan kezaliman tersebut. Dalam hal ini, Rasul saw bersabda:
«حَدٌّ يُقَامُ فِى الأَرْضِ خَيْرٌ لِلنَّاسِ مِنْ أَنْ يُمْطَرُوا ثَلاَثِينَ أَوْ أَرْبَعِينَ صَبَاحاً»
“Satu hadd (hukuman) yang ditegakkan di muka bumi adalah lebih baik untuk manusia daripada mereka diguyur hujan tiga puluh atau empat puluh pagi.” (HR Ahmad).
Hadits ini menyatakan betapa besarnya kebaikan dari penerapan hudûd Allah SWT. Pasalnya, jika satu hadd (hukuman) saja diterapkan di muka bumi membawa kebaikan sedemikian besar, lalu bagaimana jika yang diterapkan adalah semua hudûd Allah SWT dan syariah-Nya secara menyeluruh? Tentu keberkahan akan berlimpah-ruah memenuhi bumi. Pasalnya, penerapan hukum Islam atau syariah Islam secara kaffah adalah wujud hakiki dari ketakwaan. Ketakwaan pasti akan mendatangkan keberkahan berlimpah dari langit dan bumi. Sebagaimana Firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu sehingga Kami menyiksa mereka karena perbuatan yang mereka kerjakan (TQS al-Araf [7]: 96).
Dalam ayat di atas, jelas Allah SWT telah mengaitkan secara langsung keberkahan hidup penduduk suatu negeri dengan keimanan dan ketakwaan mereka kepada-Nya. Di dalam kitab tafsirnya, Imam ar-Razi menafsirkan, pada ayat ini Allah SWT menjelaskan bahwa jika mereka taat kepada-Nya, pasti Dia akan membukakan bagi mereka segala pintu kebaikan.
Agar Musibah Berbuah Berkah
Dari paparan di atas, jelas bahwa ragam musibah yang menimpa kita bisa berbuah berkah atau mendatangkan aneka kebaikan jika: Pertama, musibah yang ada disikapi dengan sikap ridha dan sabar. Kesabaran atas musibah akan berbuah pahala dari Allah SWT. Ini adalah salah satu bentuk keberkahan.
Kedua, musibah yang ada dijadikan bahan muhâsabah. Dengan itu setiap Muslim bisa mengukur sejauh mana ia telah betul-betul menaati seluruh perintah Allah SWT, dan sejauh mana ia benar-benar telah menjauhi larangan-larangan-Nya. Dengan itu pula, setiap saat ia akan terdorong untuk terus berupaya menjadi orang yang selalu taat kepada Allah SWT serta menjauhi maksiat dan dosa kepada-Nya. Ini adalah bentuk keberkahan yang lain.
Saatnya Berubah
Dari paparan di atas juga sudah sangat jelas, bahwa kunci keberkahan hidup adalah takwa kepada Allah SWT. Tentu dengan takwa yang sebenar-benarnya. Takwa yang sebenarnya tidak lain dengan mengikuti seluruh petunjuk Allah SWT di dalam al-Quran. Artinya, tidak ada ketakwaan tanpa sikap mengikuti al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ فَاتَّبِعُوهُ وَاتَّقُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati. Karena itulah, ikutilah dia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat (TQS al-Anam [6]: 155).
Di dalam kitab tafsirnya, Imam al-Qurthubi menjelaskan, bahwa al-Quran disifati dengan mubârak (yang diberkati) karena mengandung banyak keberkahan atau aneka kebaikan di dalamnya. Adapun frasa fattabiûhu, maknanya adalah imalû bimâ fîhi (amalkanlah semua hal yang terkandung di dalam al-Quran itu).
Karena al-Quran merupakan sumber keberkahan hidup, maka hanya dengan mengikuti al-Quran saja keberkahan hidup itu bisa dirasakan oleh setiap Muslim.
Alhasil, agar hidup kita menjadi berkah, dan jauh dari segala musibah, kita harus berubah. Caranya adalah dengan meninggalkan semua hukum jahiliah, yang telah terbukti mendatangkan aneka musibah. Lalu menegakkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan, sebagai wujud menerapkan seluruh isi al-Quran. Hal itu hanya mungkin terwujud dalam institus Khilafah ala minhâj an-nubuwwah. []
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ (16) أَمْ أَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يُرْسِلَ عَلَيْكُمْ حَاصِبًا فَسَتَعْلَمُونَ كَيْفَ نَذِيرِ (17) وَلَقَدْ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيرِ (18)
Apakah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang? Ataukah kalian merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu? Kelak kalian akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku? Sungguh orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul-rasul-Nya). Alangkah hebatnya kemurkaan-Ku (TQS al-Mulk [67]: 16-18). []

Download PDF disini: https://bit.ly/2EVH6at

Buletn Dakwah Kaffah Edisi 70


Buletin Dakwah Kaffah No. 070
[13 Rabiul Akhir 1440 H | 21 Desember 2018]
SEGERA SELAMATKAN MUSLIM UIGHUR!
Kekerasan terhadap kaum Muslim etnis Uighur di Xinjiang, Cina, kembali terjadi. Panel Hak Asasi Manusia PBB pada Jumat (10/8/18) mengaku telah menerima banyak laporan terpercaya, bahwa satu juta warga etnis Uighur di Cina telah ditahan di satu tempat pengasingan rahasia yang sangat besar.
Anggota Komite Penghapusan Diskriminasi Rasional PBB, Gary McDougall, mengatakan sekitar dua juta warga Uighur dan kelompok minoritas Muslim dipaksa menjalani indoktrinasi di sejumlah penampungan politik di wilayah otonomi Xinjiang (Republika.co.id).
Kekejaman Pemerintah Cina
Pada bulan lalu, lembaga Chinese Human Rights Defenders menyatakan dalam sebuah laporan, 21 persen dari semua penangkapan di Cina sepanjang 2017 terjadi di Xinjiang (Republika.co.id).
Kondisi yang sangat mengkhawatirkan ini tidak mendapatkan respon yang memadai dari dunia internasional, termasuk Pemerintah Indonesia. Presiden Jokowi tidak bersuara. Wakil Presiden JK menganggap Indonesia tak dapat ikut campur dalam permasalahan ini karena itu merupakan masalah dalam negeri Cina (Cnnindonesia.com).
Pemerintah Cina telah lama berlaku kejam terhadap kaum Muslim Uighur di wilayah Xinjiang. Mereka kerap memberlakukan aturan tak masuk akal seperti: melarang puasa saat Ramadhan, melarang menggelar pengajian hingga melarang salat berjamaah. Bahkan Pemerintah Cina secara ketat menempatkan pos-pos pemeriksaan di seluruh wilayah hingga perbatasan Xinjiang.
Mengapa Pemerintah Cina melakukan penindasan terhadap Muslim Uighur? Penyebabnya hanya satu: Karena mereka Muslim. Karena mereka memeluk Islam. Artinya, yang dimusuhi oleh Pemerintah Cina adalah segala hal yang berkaitan dengan Islam. Itu pula yang hendak mereka musnahkan dari bangsa Uighur. Mereka melucuti segala yang berbau Islam.
Mereka menutup banyak masjid di Xinjiang. Mereka melarang pria Muslim memelihara jenggot. Yang menolak ketentuan itu akan diganggu dan diintimidasi. Mereka juga memerintahkan pemilik toko menjual alkohol. Ini dilakukan sebagai upaya melemahkan aturan agama. Juga melarang umat Islam untuk memberikan nama-nama islami.
Terbaru, mereka membuat kamp-kamp konsentrasi. Mirip rumah tahanan besar. Di situlah mereka berupaya mencuci otak kaum Muslim Uighur dan menanamkan doktrin komunisme.
Permusuhan Terhadap Islam
Bagi kita, semua tindakan mereka bukan sesuatu yang mengherankan. Sebab begitulah sikap kaum kafir terhadap kaum Muslim pada umumnya. Kebencian mereka terhadap kaum Muslim dengan jelas diberitakan dalam firman-Nya:
لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا
Sungguh kamu akan mendapati manusia yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah kaum Yahudi dan orang-orang musyrik (TQS al-Maidah [5]: 82).
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا
Mereka (kaum kafir) tidak pernah berhenti memerangi kalian (kaum Muslim) sampai mereka bisa mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekafiran) andai saja mereka sanggup (TQS al-Baqarah [2]: 217).
Demikianlah kebencian dan permusuhan kaum kafir dan musyrik terhadap kaum Muslim. Karena itu aneh jika ada kaum Muslim yang masih berharap belas kasihan mereka.
Wajib Menolong Muslim Uighur
Perintah al-Quran kepada kaum Muslim sangat jelas. Saat saudara mereka ditindas dan meminta pertolongan, kaum Muslim wajib memberikan pertolongan kepada mereka. Allah SWT berfirman:
وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ
Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama maka kalian wajib memberikan pertolongan (TQS al-Anfal [8]: 72).
Uighur telah lama menjerit meminta tolong kepada kaum Muslim. Mereka ingin diselamatkan. Karena itu wajib atas kaum Muslim sedunia, termasuk Pemerintah dan rakyat Indonesia, melindungi mereka; memelihara keimanan dan keislaman mereka; sekaligus mencegah mereka dari kekufuran yang dipaksakan kepada mereka.
Sayang, saat ini tak ada seorang pemimpin Muslim pun yang mau dan berani mengirimkan pasukan untuk menyelamatkan mereka. Sungguh tak ada yang mempedulikan mereka. Termasuk penguasa negeri ini, yang penduduk Muslimnya terbesar di dunia. Jangankan memberikan pertolongan secara riil, bahkan sekadar kecaman pun tak terdengar dari penguasa negeri ini.
Dunia Butuh Khilafah
Semua realitas di atas menambah daftar panjang betapa besar penderitaan umat Islam sekarang. Sebab Uighur tak sendirian. Nasib serupa juga dialami oleh Muslim Rohingya, Pattani Thailand, Moro Philipina, Palestina, Suriah, dan lain-lain. Semua penderitaan kaum Muslim ini semakin meneguhkan kesimpulan tentang betapa butuhnya umat terhadap Khilafah.
Mengapa Khilafah? Tentu karena umat Islam di berbagai wilayah mengetahui bahwa keselamatan mereka hanya ada pada Islam, juga pada kekuasaan Islam (Khilafah). Sebab Khilafah adalah perisai/pelindung sejati umat Islam. Ini berdasarkan sabda Nabi saw:
وَإِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Kaum Muslim akan berperang dan berlindung di belakang dia (HR al-Bukhari dan Muslim).
Makna frasa “Al-Imâm junnat[un] (Imam/Khalifah itu laksana perisai)” dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, “Maksudnya, ibarat tameng, karena Imam/Khalifah mencegah musuh untuk menyerang (menyakiti) kaum Muslim; mencegah anggota masyarakat satu sama lain dari serangan; melindungi keutuhan Islam…”
Mengapa hanya Imam/Khalifah yang disebut sebagai junnah (perisai)? Karena dialah satu-satunya yang bertanggung jawab. Ini sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi saw:
الإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam/Khalifah itu pengurus rakyat dan hanya dia yang bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Menjadi junnah (perisai) bagi umat Islam khususnya dan rakyat umumnya meniscayakan Imam/Khalifah harus kuat, berani dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya, yakni Khilafah. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi (Khalifah) dan negara (Khilafah)-nya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri kepala Negara Islam pada masa lalu, baik Nabi saw. maupun para khalifah setelah beliau. Ini antara lain tampak pada surat Khalid bin al-Walid:
Dengan menyebut asma Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin al-Walid, kepada Raja Persia. Segala pujian hanya milik Allah, Yang telah menggantikan rezim kalian, menghancurkan tipudaya kalian dan memecahbelah kesatuan kalian… Karena itu, masuk Islamlah kalian. Jika tidak, bayarlah jizyah. Jika tidak, aku akan mendatangkan kepada kalian kaum yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.
Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa di Madinah, sebagai kepala negara, Nabi saw menyatakan perang terhadap mereka. Mereka pun diusir dari Madinah. Demikianlah yang dilakukan Nabi saw., sebagai kepala Negara Islam saat itu, demi melindungi kaum Muslim.
Hal yang sama dilakukan oleh para khalifah setelah beliau. Khalifah Harun ar-Rasyid, di era Khilafah Abbasiyyah, misalnya, pernah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksa dia berlutut kepada Khilafah. Khalifah Al-Mutashim, juga di era Khilafah Abbasiyyah, pernah memenuhi permintaan tolong wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi. Ia segera mengirim ratusan ribu pasukan kaum Muslim untuk melumat Amuriah, mengakibatkan ribuan tentara Romawi terbunuh, dan ribuan lainnya ditawan. Demikian pula yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid di era Khilafah Utsmaniyah dalam melindungi kaum Muslim. Semuanya melakukan hal yang sama karena mereka adalah junnah (perisai).
Semua itu tentu dasarnya adalah akidah Islam. Karena akidah Islam inilah, kaum Muslim siap menang dan mati syahid. Rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu musuh-musuh mereka takut luar biasa ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim. Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka (kaum Muslim).” Bahkan sampai terpatri di benak kaum kafir, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.
Bandingkan dengan saat ini, khususnya di negeri ini. Saat al-Quran dan Nabi Muhammad saw dinista, justru penguasanya membela sang penista. Ketika kekayaan alam milik rakyat dikuasai negara kafir penjajah, jangankan mengambil balik, dan mengusir mereka, melakukan negosiasi ulang saja tidak berani. Bahkan penguasalah yang memberikan kekayaan alam negerinya kepada negara kafir. Sebaliknya, rakyatnya sendiri terpaksa harus mendapatkan semua itu dengan susah payah dan dengan harga yang sangat mahal. Ketika orang kafir menyerang masjid dan membunuh jamaahnya, penyerangnya malah mereka undang ke istana negara.
Karena itu jelas, kita tak bisa berharap banyak kepada para pemimpin Muslim saat ini. Khilafahlah satu-satunya harapan. Sebab Khilafahlah pelindung sejati umat sekaligus penjaga agama, kehormatan, darah dan harta mereka. Khilafah pula yang bakal menjadi penjaga kesatuan, persatuan dan keutuhan setiap jengkal wilayah mereka.
Semoga kali ini, semua penderitaan kaum Muslim di seluruh dunia, khususnya Muslim Uighur, menyadarkan kita semua bahwa Khilafah sudah saatnya hadir kembali. Tak bisa lagi kaum Muslim menunggu terlalu lama. Saatnya Khilafah Rasyidah ala Minhajin Nubuwwah yang kedua ditegakkan di muka bumi ini. []
Hikmah:
«...ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ».
…Kemudian akan datang kembali Khilafah yang tegak di atas metode kenabian (HR Ahmad dan Abu Dawud). []
Download Pdf di https://bit.ly/2QZ8KcU

Jumat, 14 Desember 2018

Buletin Dakwah Kaffah No. 069

Buletin Dakwah Kaffah No. 069
[6 Rabiul Akhir 1440 H | 14 Desember 2018]

Wacana toleransi terus dihembuskan tanpa henti. Seolah negeri ini darurat intoleransi. Seakan di negeri ini umat Islam tidak toleran. Faktanya, isu intoleransi selalu menyasar umat Islam.
Baru-baru ini Setara Institute melakukan survey seputar toleransi. Setara Institute memberikan penghargaan terkait Indeks Kota Toleran atau IKT 2018.

Sabtu, 08 Desember 2018

Buletin Dakwah Kaffah No. 068

Terharu, Bangga, sekaligus Takjub, Tentu diliputi rasa syukur luar biasa kepada Allah SWT. Menyaksikan Al-Liwa' dan ar-Rayah berkibar dengan gagah pada Acara “Reuni 212” Aksi Bela Tauhid.