Pengunjung

Jumat, 25 Januari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 75



Buletin Dakwah Kaffah No. 075
[19 Jumadil Awwal 1440 H | 25 Januari 2019]
MEWASPADAI KEPEMIMPINAN
ORANG-ORANG BODOH
Setidaknya dalam beberapa bulan ke depan, suasana perpolitikan di Tanah Air dipastikan makin dinamis. Bahkan suasananya bisa makin panas. Terutama tentu karena faktor Pilpres pada bulan April 2019 mendatang.
Saat ini Pilpres menjadi satu-satunya ajang bagi rakyat di negeri ini untuk memilih pemimpin terbaik mereka. Namun sayang, faktanya, dari beberapa kali Pilpres, pemimpin yang terpilih tidak selalu yang terbaik. Bahkan sering lebih buruk daripada para pemimpin sebelumnya.
Mengapa demikian? Sebab yang paling utama, kapasitas dan kualitas para calon pemimpin tidak diukur, ditakar atau ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah; tetapi oleh konstitusi dan perundangan yang ada, yang sama sekali tidak merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah. Misal, tak ada satu pun pasal atau ayat dalam konstitusi maupun perundangan (UU Pemilu/Pilpres), misalnya, yang menyatakan bahwa para Capres dan Cawapres wajib bisa membaca al-Quran. Apalagi wajib berkomitmen untuk menerapkan syariah Islam setelah mereka terpilih menjadi pemimpin. Padahal inilah sesungguhnya yang dituntut di dalam Islam. Dalam Islam, seorang pemimpin (imam/khalifah) dipilih dan dibaiat tidak lain untuk menerapkan al-Quran dan as-Sunnah atau syariah Islam. Hanya dengan menerapkan syariah Islamlah, kepemimpinan tidak akan—sebagaimana yang dikhawatirkan Nabi saw.—menjadi imârah as-sufahâ (kepemimpinan orang-orang dungu/bodoh).
Pemimpin Bodoh/Dungu
Sebagaimana diketahui, Rasulullah saw pernah bersabda:
«أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا: إِمَارَةَ السُّفَهَاءِ…»
“Aku mengkhawatirkan atas diri kalian enam perkara yaitu (salah satunya, red.): kepemimpinan orang-orang bodoh/dungu…” (HR Ahmad dan ath-Thabarani).
Dalam hadis di atas, ada enam perkara yang dikhawatirkan Rasul saw terjadi atas umat ini. Salah satunya—dan yang paling pertama disebut oleh beliau—adalah imârah as-sufahâ (kepemimpinan orang-orang dungu/bodoh). Imârah as-sufahâ disebut di urutan pertama karena boleh jadi perkara inilah yang paling dikhawatirkan oleh Nabi saw. terjadi atas umat ini.
As-Sufahâ` bentuk jamak dari safîh. Artinya: orang bodoh/dungu, kurang akal dan keahlian, ahlu al-hawa (biasa memperturutkan hawa nafsu), sembrono/gegabah serta buruk tindakan dan penilaiannya. Di dalam Islam, as-sufahâ` ini tidak boleh diberi kepercayan untuk mengelola sendiri hartanya (QS an-Nisa [4]: 5). Islam memerintahkan agar diangkat seorang washi yang mengurusi harta milik as-sufahâ` ini. As-Sufahâ` juga di-hijr (dilarang untuk melakukan transaksi apapun). Jika mengelola harta sendiri dan bertransaksi apapun dilarang, lalu bagaimana as-sufahâ` bisa dipercaya untuk mengelola harta orang lain, apalagi harta publik? Bagaimana mungkin pula mereka bisa dipercaya untuk mengurusi nasib orang banyak? Jika itu terjadi, pasti kerusakan dan kehancuranlah hasilnya.
Dalam hadis lain, Rasul saw menggambarkan dengan sangat gamblang apa yang dimaksud imârah as-sufahâ`. Beliau bersabda kepada Ka'ab bin Ujrah:
«أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ. قَالَ: َمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ :أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِى لاَ يَقْتَدُونَ بِهَدْيِى وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى…»
“Semoga Allah melindungi kamu dari imârah as-sufahâ`.” Kaab bertanya, “Apa itu imârah as-sufahâ`, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah para pemimpin sesudahku, yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak meneladani sunnahku…” (HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Karena itu kepemimpinan penguasa manapun—baik yang IQ-nya rendah maupun yang IQ-nya tinggi—yang tidak merujuk pada petunjuk dan Sunnah Nabi saw. terkategori sebagai imârah as-sufahâ` (pemimpin bodoh/dungu). Tegasnya, pemimpin yang meninggalkan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah, seraya menjalankan sistem dan perundangan yang bukan syariah Islam, pada dasarnya itulah imârah as-sufahâ`.
Lalu bagaimana cara menyikapi imâratu as-sufahâ` itu? Rasulullah saw melanjutkan sabdanya dalam hadits di atas:
«فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّى وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلاَ يَرِدُوا عَلَىَّ حَوْضِى وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّى وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَىَّ حَوْضِى...»
Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka maka dia bukan golonganku, aku bukan pun bagian dari golongannya dan dia tidak masuk ke telagaku (di surga). Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka maka dia termasuk golonganku, aku pun termasuk golongannya dan dia akan masuk ke telagaku (di surga)...” (HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw mengajari kita agar tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka. Membenarkan jelas tingkatannya di bawah menaati. Jika membenarkan kebohongan mereka saja dilarang, apalagi menaati dan membanntu kezaliman mereka; apalagi memberikan justifikasi, pembenaran atau stempel atas kezaliman mereka.
Sabda Rasul saw, “maka dia bukan golonganku, aku pun bukan bagian dari golongannya dan dia tidak masuk ke telagaku (di surga)” adalah ancaman amat keras terhadap siapapun yang membenarkan kebohongan dan mendukung kezaliman imârah as-sufahâ`. Bayangkan, saat semua manusia sangat mengharapkan diakui sebagai golongan Rasul saw, justru beliau berlepas diri dan menolak mereka.
Pemimpin Pembohong dan Zalim
Pertanyaannya: Siapa yang dimaksud pemimpin pembohong yang haram untuk dibenarkan? Siapa pula pemimpin zalim yang tidak boleh didukung?
Pertama: Pemimpin pembohong. Pemimpin pembohong pada dasarnya adalah pemimpin yang suka menipu dan mengkhianati rakyat. Terkait ini Rasulullah saw bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
“Tidaklah seorang hamba—yang Allah jadikan pemimpin untuk mengurus rakyat—mati pada hari dia menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kata ghâsysy[in] maknanya khâ`in (khianat) atau khâdi (penipu). Artinya, membohongi/mengelabuhi rakyat atau mengkhianati amanah untuk mengurus urusan rakyat.
Hadis ini, menurut Ibn Bathal di dalam Syarh Ibn Bathal, merupakan penjelasan dan ancaman keras terhadap para pemimpin keji (aimmah al-jûr). Karena itu siapa saja yang menelantarkan orang-orang yang telah Allah SWT percaya untuk mengurus rakyat, atau dia mengkhianati rakyat atau menzalimi mereka, maka dia akan dituntut atas kezaliman-kezalimannya terhadap hamba-hamba-Nya pada Hari Kiamat kelak.
Qadhi Iyadh berkata, seperti dikutip oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim li an-Nawawi, “Maknanya jelas, ini adalah peringatan untuk tidak membohongi/menipu (mengkhianati) kaum Muslim.”
Kedua: Pemimpin zalim. Pemimpin zalim yang tidak boleh didukung adalah yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah SWT, yakni yang enggan berhukum dengan al-Quran, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah SWT turunkan, mereka itulah pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 55).
Pemimpin Sesat
Selain memperingatkan kita agar tidak membenarkan pemimpin pembohong dan membantu pemimpin zalim, Rasulullah saw pun mengkhawatirkan kita jika sampai dipimpin oleh para pemimpin yang sesat dan menyesatkan. Beliau bersabda:
«إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ اَلْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ»
“Sungguh yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah para pemimpin yang sesat/menyesatkan.” (HR Ahmad dan ad-Darimi).
Menurut al-Munawi di dalam At-Taysîr bi Syarh Jâmi ash-Shaghîr, para pemimpin sesat/menyesatkan (al-aimmah al-mudhillûn) dalam hadis di atas adalah para pemimpin yang melenceng dan menyimpang dari kebenaran. Kebenaran tentu saja apa saja yang datang dari Allah SWT atau yang tertuang dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Dengan demikian, pemimpin mana pun yang menyimpang dari al-Quran dan as-Sunnah terkategori al-aimmah al-mudhillûn.
Dalam konteks ini, Ziyad bin Hudair menuturkan: Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata kepadaku, “Apakah engkau tahu apa yang menghancurkan Islam?” Aku jawab, “Tidak.” Umar ra berkata:
يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَحُكْمُ اْلأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ.
“Yang menghancurkan Islam adalah ulama yang tergelincir (dalam kesalahan), kaum munafik yang biasa berdebat dan para pemimpin sesat yang memerintah.”
Semoga kita dijauhkan dari para pemimpin yang dicela sekaligus dikhawatirkan oleh Rasulullah saw memimpin umat beliau.
Agar hal demikian tidak terjadi maka marilah kita pilih pemimpin terbaik menurut kriteria Allah SWT dan Rasul-Nya. Tidak lain adalah pemimpin yang mau, mampu dan berani menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. []
Hikmah:
Rasulullah saw bersabda:
«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ».
“Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian doakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sebaliknya seburuk-buruk imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian laknat mereka dan mereka melaknat kalian”. (HR Muslim).
Download PDF di https://bit.ly/2TcRFtl

Jumat, 18 Januari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 74




Buletin Dakwah Kaffah Edisi 74
[12 Jumadil Awwal 1440 H | 18 Januari 2019]

STOP MENDUKUNG
PENGUASA GAGAL DAN INGKAR JANJI

Dalam Islam, penguasa diamanahi berbagai urusan dan kemaslahatan rakyat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti di hadapan Allah SWT atas amanah yang dia emban dalam pengurusan berbagai urusan rakyat. Penguasa yang memahami tanggung jawabnya tentu akan sangat berhati-hati dalam semua tindakan, kebijakan dan ucapannya. Dia tidak akan mudah menebar harapan dan janji. Sebab dia tahu semua itu harus dia pertanggungjawabkan di akhirat, di hadapan Allah SWT. Dia sadar kalau dia menjanjikan sesuatu tetapi tidak ditepati, pasti dia akan sengsara di akhirat. Jika dia menjanjikan akan melakukan sesuatu, namun nyatanya tidak dia lakukan, atau menjanjikan tidak akan melakukan sesuatu, tetapi justru dia lakukan, niscaya dia tidak akan luput dari ancaman Allah SWT. Rasulullah saw bersabda:

«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»

Tidaklah seorang hamba, yang Allah minta untuk mengurus rakyat, mati pada hari di mana dia menipu (mengelabuhi) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pada awal periode rezim sekarang ini, hati rakyat pernah dibuat berbunga-bunga dengan berbagai harapan dan janji. Tentu rakyat masih ingat dengan harapan dan janji itu.
Rakyat pernah diberi harapan, bahwa perekonomian negeri ini akan meroket. Faktanya, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini lebih rendah dari angka pertumbuhan yang ditargetkan pada APBN 2018 sebesar 5,4 persen. Padahal target pertumbuhan itu sendiri jauh lebih rendah dari yang pernah diumbar.
Menurut data BPS, kuartal I 2018 angka pertumbuhan hanya 5,06 persen. Kuartal II 5,27 persen dan kuartal III 5,17 persen. Adapun angka pertumbuhan kuartal IV belum dirilis.
Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2018 akan sama seperti kuartal III, yaitu 5,17% (Tribunnews.com, 22/11/2018).
Rakyat juga diberi harapan, bahwa lapangan kerja akan dibuka secara luas. Harapan itu juga ternyata kosong. Gelombang PHK justru terjadi. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan gelombang PHK di berbagai daerah sedang terjadi. Terdapat catatan KSPI terkait beberapa kasus PHK yang terjadi sepanjang tahun 2018. Dari catatan yang ada, total buruh yang di-PHK mencapai 15 ribu lebih. Menurut dia, tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan kasus-kasus PHK yang terjadi. Berdasarkan catatan KSPI, sektor industri yang akan terancam meliputi garmen, tekstil, elektronik, otomotif, farmasi, industri baja dan semen dan sebagainya (Republika.co.id, 15/1/2019).
Perusahaan juga banyak yang bangkrut selama tiga tahun terakhir. Data dari Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) mencatat sebanyak 37 ribu perusahaan kontraktor swasta mengalami kebangkrutan dalam tiga tahun terakhir (Republika.co.id, 15/1/2019).
Kesulitan juga mendera banyak gerai ritel. HERO Group memutuskan menutup 26 gerai dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 532 karyawan (Republika.co.id, 14/1/2019). Menurut Bhima Yudhistira, ekonom INDEF, faktor daya beli masyarakat menjadi penyebab utama tutupnya gerai ritel sepanjang dua tahun belakangan.
Sebaliknya, ada yang meroket dalam periode rezim sekarang ini, yaitu utang. Menurut Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI Januari 2019) yang diterbitkan oleh BI, total utang luar negeri sebesar USD 372,864 miliar atau Rp 5.592,96 triliun (sesuai asumsi APBN 2019, 1 USD = Rp 15.000). Terdiri dari utang Pemerintah USD 180,462 miliar, utang Bank Sentral USD 3,055 miliar dan utang swasta USD 189,347 miliar. Dari data SULNI tersebut juga diketahui utang luar negeri Pemerintah pusat naik dari USD 123,806 miliar di akhir 2014 menjadi USD 180,462 miliar di akhir 2018, atau naik USD 56,654 miliar atau naik 67,2 persen selama 4 tahun.
Total utang Pemerintah pusat per November 2018 sebesar Rp 4.395,9 triliun. Angka ini naik hingga Rp 467,3 tri
liun dalam periode setahun. Total utang itu terdiri dari pinjaman sebesar Rp 784,3 triliun dan utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.611,5 triliun (Cnbcindonesia.com, 21/12/2018).
Makin besarnya jumlah utang tentu mengakibatkan beban dan dampaknya juga makin besar. Di antaranya, APBN akan terbebani pembayaran cicilan. Untuk tahun 2018, hingga November, realisasi pembayaran bunga utang Pemerintah mencapai Rp 251,1 triliun (Kontan.co.id, 9/12/2018).
Lalu pada APBN 2019 dialokasikan anggaran sebesar Rp 396,54 triliun. Terdiri dari Rp 275,88 triliun untuk pembayaran bunga dan Rp 120,66 triliun untuk cicilan pokok (Cnnindonesia.com, 12/12/2018).
Dalam konteks luar negeri, belenggu utang diduga membuat Pemerintah tidak berani menunjukkan pembelaan terhadap kaum Muslim Uighur yang tertindas dan dijajah oleh Tiongkok sejak invasi tahun 1949.
Rakyat pun pernah dijanjikan, bahwa impor berbagai komoditas, terutama kebutuhan pokok, akan dihentikan. Lagi-lagi, janji tinggal janji. Faktanya jauh dari realisasi.
Beras, misalnya, selama tahun 2018 sebanyak 2 juta ton diimpor dari Vietnam dan Thailand. Pemerintah juga telah memutuskan impor jagung sebanyak 100 ribu ton. Padahal tidak kekurangan. Bahkan surplus. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP) Kementan, produksi jagung tahun 2018 diperkirakan mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK). Padahal berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, kebutuhan jagung tahun ini diperkirakan sebesar 15,5 juta ton PK. Masih surplus sebesar 12,98 juta ton PK (Finance.detik.com, 3/11/2018).
Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pada komoditas gula. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari - November 2018, impor gula rafinasi mencapai 4,6 juta ton. Dalam ketentuannya, gula rafinasi impor hanya untuk kebutuhan industri dan tidak untuk konsumsi. Artinya, tidak boleh dijual ke masyarakat. Padahal pada 2018, Kementerian Perindustrian menargetkan kebutuhan industri terhadap gula rafinasi hanya sebesar 2,8 juta ton. Itu artinya, sebanyak 1 juta ton lebih untuk konsumsi, dan itu menyalahi ketentuan (Industry.co.id, 14/1/2019).
Boleh jadi itulah salah satu sebab gula petani tidak terserap dan menumpuk di pabrik.
Faisal Basri, ekonom senior INDEF, mengomentari hal ini, "Impor 4,6 juta ton (2018). Kebutuhan hanya 3 juta ton. Selebihnya? Mengalir ke pasar untuk gula konsumsi. Pemerintah menggunakan untuk stabilitas harga di pasar. Padahal sebelumnya Pemerintah mengatakan, gula rafinasi tidak boleh dipasarkan karena tidak baik bagi kesehatan. Sekarang Pemerintah pakai gula rafinasi untuk stabilisasi harga," kata Faisal.
Menurut dia, impor gula ini seharusnya bisa dihentikan dengan peningkatan produksi gula rafinasi di dalam negeri. Namun, Pemerintah secara sengaja menghambat peningkatan produksi gula di dalam negeri. "Kalau Anda lihat, Pemerintah kasih izinnya di daerah yang nggak mungkin tanam tebu; Cilegon, Banten, kecuali Cilacap. Deli Serdang nggak ada tanaman tebu, Makassar nggak juga. Inilah kacaunya Pemerintah. Jadi sepenuhnya bisa dikatakan, gula rafinasi ini stempel untuk berburu rente, menikmati selisih yang sangat besar antara gula Indonesia dan gula dunia," tutur Faisal (Industry.co.id, 14/1/2019).
Boleh jadi perburuan rente itulah motif di balik terus berlanjutnya ketergantungan pada impor dalam banyak komoditas seperti beras, jagung, kedelei, gula, garam, bawang dan lainnya. Patut diduga, itu menjadi modus balas jasa kepada para cukong yang memberikan backing modal untuk meraih kekuasaan. Selain itu, penunjukkan pejabat dari kelompok sendiri secara nepotisme tentu lebih mudah untuk mengakomodasi balas jasa melalui perburuan rente itu. Yang demikian, dalam pandangan Islam, termasuk ghisyyu (menipu) rakyat. Rasul saw bersabda:

«مَنْ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى عِصَابَةٍ وَفِيهِمْ مَنْ هُوَ أَرْضَى اللَّهُ عَنْهُ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ»

Siapa yang mengangkat seorang laki-laki atas dasar kelompok, padahal di tengah mereka ada orang yang lebih Allah ridhai, maka sungguh dia telah mengkhianati
Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin (HR Ahmad dan al-Hakim).

Jelas, semua janji di atas—dari puluhan janji penguasa—adalah janji palsu karena jelas tak terbukti. Semuanya lebih layak disebut janji bohong atau bahkan telah menjadi kebohongan itu sendiri. Selayaknya, itu sudah cukup membuat rakyat tidak lagi mau terus dikibuli. Tentu konyol jika sudah begitu rupa masih saja ada yang setia mempercayai apalagi mendukung dan menolong pemimpin dalam kebohongan itu.
WalLâh alam bi ash-shawâb. []


Hikmah:

Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّهُ سَتَكُوْنُ بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ»

Sungguh akan ada sesudahku para pemimpin, yang siapa saja membenarkan mereka dalam kebohongan mereka dan membantu mereka atas kezaliman mereka, maka ia bukan golonganku dan aku pun bukan golongannya dan ia tidak akan masuk menemaniku di telaga. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan mereka di dalam kebohongan mereka dan tidak membantu mereka atas kezaliman, maka ia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya dan ia akan masuk ke telaga bersamaku.
(HR an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim).

Download PDF di http://bit.ly/2SZAifx

Sabtu, 12 Januari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 073





Buletin Dakwah Kaffah No. 073
[6 Jumadil Awwal 1440 H — 11 Januari 2019]

LAYANAN KESEHATAN:
HAK RAKYAT, KEWAJIBAN NEGARA

Islam menetapkan kebutuhan atas pangan, papan, dan sandang sebagai kebutuhan pokok tiap inidividu rakyat. Islam juga menetapkan keamanan, pendidikan, dan kesehatan sebagai hak dasar seluruh masyarakat. Rasulullah saw. menjelaskan bahwa ketersediaan kebutuhan-kebutuhan ini seperti memperoleh dunia secara keseluruhan. Ini sebagai kiasan dari betapa pentingnya kebutuhan-kebutuhan tersebut bagi setiap individu. Rasulullah saw. bersabda:
«مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا»
Siapa saja di antara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia (HR at-Tirmidzi).

Untuk itu, dalam ketentuan Islam, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, papan, dan sandang untuk tiap-tiap individu rakyat. Negara juga wajib menyediakan pelayanan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Hal itu merupakan bagian dari kewajiban mendasar negara (penguasa) atas rakyatnya. Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban itu. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat.
Sayang, penguasa saat ini tampak berlepas tangan dari kewajiban untuk menjamin berbagai kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyatnya. Salah satunya adalah jaminan kesehatan. Saat ini jaminan kesehatan masyarakat malah menggunakan sistem asuransi sosial dalam kerangka Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan).

Pengalihan Tanggung Jawab
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bertolak belakang dengan ketentuan Islam. Pasalnya, yang terjadi dalam JKN, pelayanan kesehatan rakyat yang sesungguhnya kewajiban negara justru diubah menjadi kewajiban rakyat.
Menurut Asih dan Miroslaw, dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN: “Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.” (Asih Eka Putri dan Miroslow Manicki. “Pembangunan Sistem Jaminan Kesehatan Sosial: Bagaimana Jaminan Kesehatan Sosial Dapat Membuat Perubahan?” German Technical Cooporation, Social Health Insurance Project Indonesia). Jakarta. (Makalah). www.sjsn.menkokesra.go.id.).
Jadi sejak awal ruh dari sistem JKN oleh BPJS adalah pengalihan tanggung jawab dari pundak negara ke pundak seluruh rakyat. Dengan pengalihan itu, jaminan kesehatan yang merupakan tanggung jawab dan kewajiban negara justru diubah menjadi kewajiban rakyat. Rakyat diwajibkan untuk saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka melalui sistem JKN dengan prinsip asuransi sosial.

Asuransi Sosial Kesehatan
JKN sejatinya bukanlah jaminan kesehatan. JKN sebenarnya adalah asuransi sosial. Asuransi sosial itu adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3 UU SJSN).
Akibatnya, pelayanan kesehatan untuk rakyat disandarkan pada premi yang dibayar oleh rakyat. Jika rakyat tidak membayar, mereka tidak berhak atas pelayanan kesehatan. Karena diwajibkan, jika telat atau tidak bayar, rakyat (peserta asuransi sosial kesehatan) dikenai sanksi, baik denda atau sanksi administratif. Pelayanan kesehatan rakyat bergantung pada jumlah premi yang dibayar rakyat. Itulah ide dasar operasional BPJS.
Pemasukan dari iuran dikelola oleh BPJS untuk memberikan jaminan kesehatan kepada peserta JKN-KIS. Namun, tidak semuanya digunakan untuk itu. Menurut UU, sebagian dari dana yang dikelola BPJS Kesehatan harus diinvestasikan dalam instrumen investasi dalam negeri baik instrumen deposito, saham, SBN (
Surat Berharga Negara atau surat utang negara), reksadana dan instrumen lainnya. CNN Indonesia melansir bahwa pada akhir tahun lalu (2017) aset dana kelolaan BPJS Kesehatan menyentuh angka sekitar Rp7,2-Rp7,3 triliun (www.cnnindonesia.com, 28/8/2018).
Dalam perjalanan mengelola JKN-KIS, BPJS terus mengalami defisit sejak 2014. Defisit itu makin besar dari tahun ke tahun. Tahun 2014 defisitnya Rp 3,3 triliun, lalu naik menjdi Rp5,7 triliun pada 2015. Berikutnya naik lagi menjadi Rp 9,7 triliun pada 2016 dan Rp 9,75 triliun pada 2017. Untuk tahun ini, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) setidaknya hingga akhir 2018, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 10,98 triliun. Akibat defisit itu, BPJS Kesehatan menunggak pembayaran kepada ratusan rumah sakit yang menjadi partner BPJS Kesehatan.
Dalam rapat di DPR, Selasa (18/9), Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyebut besaran klaim yang dibayarkan perusahaan selalu lebih besar ketimbang iuran yang diterima dari pesertanya. CNBC Indonesia (29/9/2018) menyebutkan, BPJS Kesehatan memang memiliki potensi menderita defisit setiap tahun. Pasalnya, besaran iuran tidak bisa menutupi rata-rata biaya peserta. Pada 2017, rata-rata premi perorang perbulan mencapai Rp 34.119, sementara rata-rata biaya perorang Rp 39.744 perbulan. Artinya, tekor Rp 5.625 perorang perbulan. Dengan jumlah peserta mencapai 204,4 juta hingga pertengahan September 2018 maka defisit BPJS Kesehatan perbulannya sekitar Rp 1,1 triliun. Selama kondisinya seperti itu, meski kepesertaan 100% lebih sekalipun, BPJS akan terus defisit.
Dalam kerangka berpikir asuransi sosial, tentu solusi defisit BPJS adalah dengan menaikkan iuran premi. Namun, dalam situasi tahun Pemilu, solusi menaikkan iuran BPJS jelas “tidak menguntungkan” bagi Jokowi. Karena itu untuk menutup defisit itu dipilih kebijakan menyuntikkan dana dari APBN ke BPJS Kesehatan. Dalam hal ini Pemerintah telah menyuntikkan dana yang jika ditotal sudah mencapai Rp 10,1 triliun (finance.detik.com, 12/12/2018).

Jaminan Kesehatan dalam Islam
Dalam Islam, kebutuhan atas pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh kaum Muslim dalam terapi pengobatan dan berobat. Jadilah pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Kemaslahatan dan fasilitas publik (al-mashâlih wa al-marâfiq) itu wajib disediakan oleh negara secara cuma-cuma sebagai bagian dari pengurusan negara atas rakyatnya. Ini sesuai dengan sabda Rasul saw.:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari).

Salah satu tanggung jawab pemimpin adalah menyediakan layanan kesehatan dan pengobatan bagi rakyatnya secara cuma-cuma.
Sebagai kepala negara, Nabi Muhammad saw. pun menyediakan dokter gratis untuk mengobati Ubay. Ketika Nabi saw. mendapatkan hadiah seorang dokter dari Muqauqis, Raja Mesir, beliau menjadikan dokter itu sebagai dokter umum bagi masyarakat (HR Muslim).
Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa serombongan orang dari Kabilah Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba. Mereka diperbolehkan minum air susunya secara gratis sampai sembuh (HR al-Bukhari dan Muslim).
Saat menjadi khalifah, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. juga menyediakan dokter gratis untuk mengobati Aslam (HR al-Hakim).
Masih ada nas-nas lainnya yang menunjukkan bahwa negara menyediakan pelayanan kesehatan secara penuh dan cuma-cuma untuk rakyatnya.
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah termasuk kebutuhan dasar yang wajib disediakan oleh negara secara gratis untuk seluruh rakyat tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.
Jaminan kesehatan dalam Islam itu memiliki empat sifat. Pertama, universal, dalam arti tidak ada pengkelasan dan pembedaan da
lam pemberian layanan kepada rakyat. Kedua, bebas biaya alias gratis. Rakyat tidak boleh dikenai pungutan biaya untuk mendapat pelayanan kesehatan. Ketiga, seluruh rakyat bisa mengaksesnya dengan mudah. Keempat, pelayanan mengikuti kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana tidak kecil. Pembiayaannya bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum termasuk hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas, dan sebagainya. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fai, usyur, pengelolaan harta milik negara dan sebagainya. Semua itu akan lebih dari cukup untuk bisa memberikan pelayanan kesehatan secara memadai dan gratis untuk seluruh rakyat, secara berkualitas.
Kuncinya adalah dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan oleh—sekaligus menjadi tanggung jawab—seluruh umat Islam.
WalLâh alam bi ash-shawâb. []


Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
«إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ، وَسَتَصِيرُ نَدَامَةً وَحَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ… »
Kalian begitu berhasrat atas kekuasaan, sementara kekuasaan itu akan menjadi penyesalan dan kesedihan pada Hari Kiamat… (HR Ahmad).

Download Pdf disini https://bit.ly/2Rgm1OC

Kamis, 03 Januari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 072



Buletin Dakwah Kaffah No. 072
[27 Rabiul Akhir 1440 H/4 Januari 2019]


AL-QURAN: SUMBER HUKUM, BUKAN SEKADAR BACAAN
Kompetisi antar capres-cawapres mulai panas dengan isu keagamaan. Setelah persoalan shalat, kali ini muncul tantangan membaca al-Quran bagi masing-masing pasangan capres-cawapres. Yang melontarkan gagasan ini adalah Ketua Dewan Pimpinan Ikatan Dai Aceh, Tgk Marsyuddin Ishak, di Banda Aceh. “Untuk mengakhiri polemik keislaman capres dan cawapres, kami mengusulkan tes baca al-Quran kepada kedua pasangan calon,” kata Tgk Marsyuddin Ishak di penghujung bulan Desember 2018 lalu.
Keutamaan Membaca al-Quran
Setiap Muslim tentu didorong untuk gemar membaca al-Quran dan menghiasi lisan mereka dengan tilawah yang mulia ini. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ
Sungguh orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itulah yang mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi (TQS Fathir [35]: 29).
Nabi saw juga bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
Bacalah al-Quran karena sungguh pada Hari Kiamat ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya (HR Muslim).
Setiap Muslim diperintahkan untuk membaca al-Quran dengan tartil. Jelas pelafalan huruf demi hurufnya dan penuh dengan kekhusyukan. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
...وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
Bacalah al-Quran itu dengan tartil (TQS al-Muzammil [73]: 4).
Menurut Ibnu Katsir, tartil pada ayat ini bermakna membaca al-Quran secara perlahan. Menurut Imam an-Nawawi, para ulama telah sepakat atas sunnahnya membaca al-Quran secara tartil.
Nabi saw. juga menganjurkan para pembaca al-Quran untuk membaguskan tilawah mereka. Sabdanya:
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
Hiasilah al-Quran dengan suara-suara kalian (HR Abu Dawud dan an-Nasai).
Namun demikian, tentu semua amalan tilawah al-Quran dilakukan dengan niat ikhlas mengharap ridha Allah SWT. Bukan untuk mendapatkan popularitas, menaikkan elektabilitas dan menjatuhkan orang lain. Bahkan Nabi saw. menceritakan buruknya nasib orang yang mengajarkan Kitabullah karena mengharapkan pujian dari manusia.
وَ رَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَ عَلَّمَهُ وَ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ: ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ
Dihadapkanlah seseorang yang mempelajari dan mengajarkan ilmu serta membaca al-Quran. Lalu diperlihatkan kepada dia kenikmatannya (saat di dunia). Ia pun mengakuinya. Lalu ditanyakan kepada dia, “Apa amalmu?” Ia menjawab, “Aku mempelajari dan mengajarkan ilmu dan aku pun membaca al-Quran karena-Mu.” Allah berkata, “Engkau berdusta! Akan tetapi, engkau mempelajari ilmu agar disebut sebagai orang alim dan engkau membaca al-Quran supaya engkau disebut sebagai qari!” Kemudian ia diperintahkan untuk diseret. Ia lalu diseret di atas wajahnya dan disungkurkan ke neraka (HR Muslim).
Rasulullah saw. juga mengkhawatirkan datangnya satu kaum yang hanya gemar membagus-baguskan bacaan al-Quran, juga datangnya para pemimpin yang bodoh (imârah sufahâ) dan para aparat yang zalim. Sabda beliau:
ﺃَﺧَﺎﻑُ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺳِﺘًّﺎ: ﺇِﻣَﺎﺭَﺓَ ﺍﻟﺴُّﻔَﻬَﺎﺀِ ﻭَ ﺳَﻔْﻚَ ﺍﻟﺪَّﻡِ ﻭَ ﺑَﻴْﻊَ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢِ ﻭَ ﻗَﻄِﻴْﻌَﺔَ ﺍﻟﺮَّﺣْﻢِ ﻭَ ﻧَﺸْﻮًﺍ ﻳَﺘَّﺨِﺬُﻭْﻥَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻣَﺰَﺍﻣِﻴْﺮَ ﻭَ ﻛَﺜْﺮَﺓَ ﺍﻟﺸُّﺮَﻁِ
Aku mengkhawatirkan atas kalian enam perkara: kepemimpinan orang-orang bodoh, pertumpahan darah, jual-beli hukum, pemutusan silaturahmi, anak-anak muda yang menjadikan al-Quran sebagai seruling-seruling (musik) dan banyaknya algojo (yang zalim) (Shahîh al-Jâmi, hlm. 216).
Bukan Sekadar Bacaan
Kaum Muslim tentu disunnahkan untuk banyak membaca al-Quran. Namun demikian, al-Quran tentu bukan sekadar bacaan. Al-Quran adalah kitab hukum. Al-Quran berisi petunjuk kehidupan dan hukum-hukum yang menyelesaikan berbagai persoalan hidup manusia. Jika membaca al-Quran adalah sunnah, maka mengamalkan isinya atau berhukum dengan hukum-hukumnya adalah wajib.
Sebagaimana diketahui, selain membahas tema akidah, ayat-ayat al-Quran juga menjelaskan hukum-hukum Allah SWT bagi umat manusia mulai dari hokum-hukum seputar ibadah, akhlak, rumah tangga, ekonomi hingga pemerintahan dan militer. Hukum-hukum yang dikandung dalam al-Quran adalah hukum terbaik bagi manusia. Tak bisa ditandingi oleh hukum buatan manusia. Firman-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).
Kewajiban berhukum dengan al-Quran adalah perkara yang tak bisa ditawar lagi. Banyak ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk berhukum dengan al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَ أَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَ لَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ
Hendaklah kamu (Muhammad) memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan. Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 49).
Allah SWT juga mengingatkan kaum Muslim agar tidak jatuh menjadi kelompok manusia yang fasik, zalim, bahkan kufur karena tidak berhukum pada hukum-hukum al-Quran:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah orang-orang kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah orang-orang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45).
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan, mereka itulah orang-orang fasik (TQS al-Maidah [5]: 47).
Berkaitan dengan ayat-ayat di atas, Imam Ibnu al-Jauzi berkata, “Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan karena menentang hukum itu—dalam keadaan dia mengetahui bahwa Allah telah menurunkannya—sebagaimana sikap kaum Yahudi, maka dia kafir. Adapun siapa saja yang tidak berhukum dengan al-Quran karena kecondongan hawa nafsunya tanpa ada sikap penentangan maka dia adalah orang zalim lagi fasik.” (Ibn al-Jauzi, Zâd al-Masîr, hlm. 386).
Allah SWT pun menegaskan bahwa sikap seorang Muslim, saat telah diberi keputusan hukum oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah tidak mencari pilihan yang lain. Ia wajib tetap mematuhi ketetapan Allah dan Rasul-Nya.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
Tidaklah patut bagi laki-laki Mukmin maupun perempuan Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka. Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat secara nyata (TQS al-Ahzab [33]: 36).
Sekularisme Haram!
Karena itu, di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini, tentu aneh jika dalam kehidupan bernegara hari ini justru semangat sekularisme begitu dielu-elukan. Berulang muncul seruan dari politisi dan pejabat negara agar tidak memasukkan agama ke dalam ranah politik. Seorang politisi mengatakan agar umat jangan baper membawa agama ke ranah politik. Sebab menurut dia, hari ini rakyat sedang memilih presiden, bukan memilih nabi, apalagi memilih tuhan.
Namun ironinya, para politisi sekular itu justru kerap mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik mereka. Misalnya, meminta dukungan ulama, memamerkan ibadah dan terakhir menantang kefasihan membaca al-Quran. Tujuannya bukan untuk memuliakan Islam, apalagi menerapkan hukum Islam, tetapi sekadar demi menaikkan pamor kelompoknya dan untuk menjatuhkan kubu lawan.
Demikianlah tabiat politik kaum secular. Menjauhkan agama dari kehidupan berpolitik dan bernegara. Namun, lain waktu, tanpa malu sama sekali mereka mengeksploitasi agama untuk syahwat politik mereka.
Terapkan al-Quran!
Islam adalah agama paripurna. Al-Quran telah mengatur seluruh aspek kehidupan. Al-Quran adalah satu-satunya kitab suci yang membawa hukum-hukum terbaik dari Allah SWT. Hukum-hukum al-Quran menjamin keberkahan dan kebaikan hidup bagi manusia di dunia dan akhirat.
Allah SWT jelas menurunkan al-Quran tidak hanya untuk dibaca, tetapi untuk dijadikan sebagai pedoman hidup manusia, yang hukum-hukumnya wajib diterapkan dalam kehidupan. Lalu mengapa justru kita tidak menjadikan al-Quran sebagai aturan dalam kehidupan kita?
Karena itu, jangan cuma tantangan untuk membaca al-Quran. Yang lebih layak untuk dijadikan tantangan bagi penguasa atau calon penguasa adalah: beranikah mereka menerapkan hukum-hukum al-Quran?! Jika tidak, siap-siaplah al-Quran mendakwa mereka di akhirat kelak. []
Hikmah:
Anas bin Malik ra berkata:
رُبَّ قَارِئٍ لِلْقُرْآنِ وَ اْلقُرْآنُ يَلْعَنُهُ
Betapa banyak pembaca al-Quran, tetapi al-Quran sendiri justru melaknat dia (Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm ad-Dîn, 1/274).

Download Pdf di https://bit.ly/2Tu2qHv