Pengunjung

Kamis, 28 Februari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 80



[24 Jumadil Akhir 1440 H | 1 Maret 2019]

STOP SEGALA KEMUNAFIKAN!

Munafik adalah perilaku tercela. Dalam banyak ayat-Nya, Allah SWT tak pernah menyebut kaum munafik kecuali dalam makna yang negatif/buruk.

Sebagian ulama membagi orang munafik menjadi dua. Pertama: munafik secara i'tiqâdi. Pelakunya pada dasarnya kafir, tetapi berpura-pura atau menampilkan diri sebagai Muslim semata-mata demi menipu Allah SWT (QS an-Nisa [4]: 142). Munafik jenis ini ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
Sungguh kaum munafik itu ditempatkan di dasar neraka yang paling bawah dan mereka tidak memiliki seorang penolong pun (TQS an-Nisa [4]: 145).
Kedua: munafik secara amali. Pelakunya boleh jadi Muslim, tetapi memiliki sifat-sifat/ciri-ciri orang munafik. Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda:

آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
Ada tiga tanda orang munafik: jika berkata, berdusta; jika berjanji, ingkar; jika diberi amanah, khianat (HR al-Bukhari dan Muslim).
Pertama: Berbicara bohong/dusta dinyatakan sebagai salah satu karakter orang munafik. Hal itu menunjukkan bahwa berbohong merupakan dosa besar. Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ
Sungguh kebohongan itu mengantarkan pada kejahatan dan kejahatan itu mengantarkan ke neraka (HR al-Bukhari dan Muslim).

Kedua: Ingkar janji adalah ciri kaum munafik berikutnya. Kaum munafik itu gemar berjanji, tetapi gemar pula mengingkari janji-janji mereka.
Ketiga: Khianat terhadap amanah adalah ciri kaum munafik yang ketiga. Allah SWT mencela sikap khianat ini:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
Sungguh Allah tidak menyukai para pengkhianat (TQS al-'Anfal [8]: 58).
Di antara amanah itu adalah amanah kepemimpinan. Kepemimpinan—dalam konteks bernegara—adalah amanah untuk mengurus rakyat. Rasulullah saw bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Mengurusi kemaslahatan rakyat yang menjadi amanah seorang pemimpin tentu harus sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah Islam). Karena itu selalu merujuk pada syariah Islam dalam mengurus semua urusan rakyat adalah wajib (Lihat: QS al-Nisa [4]: 59). Amanah untuk mengurus semua kemaslahatan rakyat tidak boleh didasarkan pada aturan-aturan kapitalis sekular—sebagaimana yang terjadi saat ini—yang dasarnya adalah hawa nafsu. Allah SWT jelas mencela segala tindakan yang bersumber dari hawa nafsu manusia:

وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ
Janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya… (TQS al-Kahfi [18]: 28).

Selain ketiga ciri kemunafikan di atas, menurut Aid Abdullah al-Qarni dalam salah satu kitabnya, Al-Quran menyebut sejumlah perilaku orang munafik. Di antaranya: dusta; khianat; ingkar janji; riya (doyan pencitraan); mencela orang-orang taat dan shalih; memperolok-olok al-Quran, as-Sunnah dan Rasulullah saw; bersumpah palsu; tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim; suka menyebarkan kabar bohong (hoax); mencaci-maki kehormatan orang-orang shalih; membuat kerusakan di muka bumi dengan dalih mengadakan perbaikan; tidak ada kesesuaian antara lahiriah dan batiniah; menyuruh kemungkaran dan mencegah kemakrufan; sombong dalam berbicara; menantang Allah SWT dengan terus berbuat dosa; dst.

Sayang, saat ini perilaku munafik ini terus tumbuh makin subur. Khususnya di kalangan rezim/penguasa, para pejabat negara dan para politisi. Faktanya, sebagian perilaku di atas—jika tidak semuanya—banyak dipraktikkan oleh rezim saat ini, termasuk sebagian pejabat negara dan para politisi. Di antara mereka banyak yang biasa berdusta; khianat; ingkar janji; riya (doyan pencitraan); mencela orang-orang taat dan shalih; memperolok-olok al-Quran, as-Sunnah dan Rasulullah saw.; bersumpah palsu; tidak peduli terhadap nasib kaum Muslim; suka menyebarkan kabar bohong (hoax); mencaci-maki kehormatan orang-orang shalih; membuat kerusakan di muka bumi dengan dalih mengadakan perbaikan; tidak ada kesesuaian antara lahiriah dan batiniah; menyuruh kemungkaran dan mencegah kemakrufan; sombong dalam berbicara; menantang Allah SWT dengan terus berbuat dosa; dst.

Akibat Demokrasi
Sejak awal politik demokrasi adalah politik transaksional. Dalam politik transaksional, kepentingan tentu menjadi faktor utama. Karena itu tidak aneh banyak orang yang terjun ke arena demokrasi menjadi orang-orang munafik.
Setelah terpilih sebagai penguasa, misalnya, banyak di antara mereka terbukti ingkar janji. Mereka mengeluarkan banyak kebijakan yang merugikan rakyat. Misalnya dengan terus-menerus menaikkan harga BBM dan tarif listrik, membebani rakyat dengan ragam pajak, menjual sumberdaya alam milik rakyat, dll. Padahal sebelum berkuasa, khususnya pada masa-masa kampanye Pemilu, mereka berjanji mensejahterakan rakyat. Sebelumnya mereka pun mencitrakan diri sebagai pembela wong cilik dan mencintai rakyat.

Selain ingkar janji, mereka juga sering mengkhianti amanah. Di antara bentuk pengkhianatan terhadap amanah adalah korupsi. Terkait tindak korupsi, dalam survei yang digelar Global Corruption Barometer (GBC) sejak pertengahan 2015 hingga awal 2017, diperoleh hasil bahwa 54% responden menilai DPR sebagai lembagai paling korup. Disusul oleh lembaga birokrasi 50%, DPRD 47% dan Dirjen Pajak 45% (Cnnindonesia.com, 7/3/17).

Adapun dalam konteks Asia-Pasifik, hasil dari GCB 2017 memberikan gambaran, “Sebanyak 39% publik menganggap polisi adalah lembaga paling korup. Disusul legislatif/DPR (37%), legislatif daerah (35%), birokrasi (35%) dan kementerian (31%).” (Republika.co.id, 07/03/17).
Padahal jelas, korupsi telah diharamkan dalam Islam sebagai tindakan menipu rakyat dan menyalahgunakan amanah. Rasul saw bersabda:

مَنِ اسْتُرْعِيَ رَعِيَّةً فَمَاتَ وَهُوَ لَهَا غَاشٌّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Siapa saja yang diminta mengurus rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, Allah mengharamkan surga bagi dirinya (HR Abu Dawud).

Pertanyannya: Mengapa mereka korupsi? Tidak lain karena Pemilu/Pilkada dalam sistem demokrasi membutuhkan biaya sangat besar yang harus dikeluarkan oleh para calon. Menurut hasil riset LPEM UI, seorang caleg DPR rata-rata harus mengeluarkan dana minimal sebesar Rp 1,18 miliar untuk melakukan kampanye agar dapat menduduki kursi legislatif (Republika.co.id, 19/3/14).
Biaya besar juga tampak saat ingin masuk dalam lingkaran eksekutif. Akibatnya, saat terpilih menjadi penguasa, mereka akan berusaha mengembalikan modal saat pencalonan sekaligus mengeruk keuntungan sehingga para periode selanjutnya bisa terpilih kembali. Dari mana duitnya kalau bukan dari jalan korupsi? Tidak aneh jika hingga akhir 2014 saja tercatat 325 kepala dan wakil kepala daerah, 76 anggota DPR dan DPRD, serta 19 menteri dan pejabat lembaga negara yang terjerat kasus korupsi. Sekitar 70 persen dari total kepala dan wakil kepala daerah diseret ke meja hijau (Tribunnews.com, 25/12/2014).
Berakar pada Sekularisme

Demokrasi sejatinya berpangkal pada sekularisme. Sekularisme inilah yang menjadi biang masalah munculnya berbagai perilaku munafik. Pasalnya, sekularisme sejak awal menolak campur tangan Tuhan (baca: agama). Dalam konteks Islam, sekularisme jelas merupakan sebuah keyakinan dan sikap nifâq. Akibatnya, sekularisme telah melahirkan orang-orang munafik, khususnya di kalangan penguasa/pejabat maupun wakil rakyat. Bukankah munafik namanya, mengaku Muslim tetapi tidak mau diatur dengan syariah Islam? Bukankah munafik namanya, mengaku hamba Allah SWT, tetapi menolak aturan-aturan-Nya? Bukankah munafik namanya, mengklaim al-Quran sebagai pedoman hidup, tetapi hukum-hukumnya dicampakkan? Bukankah munafik namanya, mengaku Muslim, tetapi mendukung kepemimpinan kafir? Bukankah munafik namanya, mengklaim diri Muslim, tetapi berperilaku korup yang justru diharamkan oleh Islam? Inilah yang terjadi dalam sebuah negara sekular seperti Indonesia saat ini.

Terapkan Syariah

Alhasil, saatnya kita megghentikan segala kemunafikan. Namun, tentu selama negeri ini tetap menerapkan sekularisme dengan demokrasi sebagai salah satu pilarnya, perilaku munafik, khususnya di kalangan penguasa/para pejabat dan wakil rakyat, tidak akan pernah berkurang, apalagi hilang. Persoalan ini hanya mungkin diatasi saat bangsa ini menerapkan syariah Islam sebagai sistem terbaik, sebagaimana firman-Nya:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).
Sebagai sistem terbaik, syariah Islam tentu wajib diterapkan secara kâffah dalam sistem pemerintahan terbaik. Itulah Khilafah ala minhâj an-nubuwwah. []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا. الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
Kabarkanlah kepada kaum munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) mereka yang menjadikan kaum kafir sebagai teman-teman penolong dengan meninggalkan kaum Mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan pada kaum kafir itu? Padahal sungguh kemuliaan itu semuanya hanya milik Allah. (TQS al-Nisa[4]: 138-139). []


Download Pdf di http://bit.ly/2Sx2jdd

Senin, 25 Februari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 79

Buletin Dakwah Kaffah No. 079
[17 Jumadil Akhir 1440 H | 22 Februari 2019]




KEMULIAAN DAKWAH
DAN KEHINAAN PARA PENENTANGNYA

Kaum Muslim wajib mengambil Islam sebagai agama dan sistem hidup. Sebaliknya, mereka harus meninggalkan serta menolak agama dan sistem hidup selainnya. Allah SWT berfirman:

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

Apakah selain agama Allah yang mereka cari? Padahal kepada Allahlah semua makhluk di langit dan di bumi menyerahkan diri, baik sukarela ataupun terpaksa, dan hanya kepada Dia mereka dikembalikan (TQS Ali Imran [3]: 83).

Setiap Muslim juga wajib mengambil semua yang Rasul saw. bawa, sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah. Apa yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukuman-Nya (TQS al-Hasyr [59]: 7).

Selain itu kaum Muslim wajib mendakwahkan Islam. Sebab Allah SWT memang telah memerintahkan kita untuk menyerukan Islam kepada seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman:

فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Karena itu berdakwahlah dan beristiqamahlah sebagaimana diperintahkan kepada kamu serta janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (TQS asy-Syura [42]: 15).

Aktivitas mendakwahkan Islam merupakan jalan Rasul saw dan para pengikut beliau, sebagaimana firman Allah SWT:

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي...

Katakanlah, "Inilah jalanku. Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata…” (TQS Yusuf [12]: 108).

Allah SWT pun menyifati aktivitas mendakwahkan Islam sebagai sebaik-baik ucapan:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ...

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru manusia kepada Allah... (TQS Fushshilat [41]: 33).

Jadi jelas dan tegas, mendakwahkan Islam merupakan aktivitas mulia berdasarkan pernyataan langsung dari Allah Yang Mahamulia. Tentu yang dituntut adalah mendakwahkan Islam secara keseluruhan; meliputi akidah dan syariahnya; substansi dan formalitasnya; spiritual dan politiknya.
Kaum Muslim wajib merujuk pada semua hukum Allah SWT dalam menyelesaikan segala persoalan mereka. Allah SWT berfirman:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Demi Tuhanmu, mereka tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim atas perkara apa saja yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan atas putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya (TQS an-Nisa [4]: 65).

Sepeninggal Rasul saw, upaya menjadikan beliau sebagai hakim tidak lain dengan menjadikan syariah yang beliau bawa sebagai pemutus dalam segala persoalan yang terjadi. Tentu hal ini menuntut kaum Muslim untuk menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Inilah yang menjadi bukti kesempurnaan dan kebenaran iman. Allah SWT berfirman:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ...

Jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah sesuatu itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul-Nya (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir... (TQS an-Nisa [4]: 59).

Berkaitan dengan ayat di atas, Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsîr al-Qurân al-Azhîm antara lain menjelaskan: (Artinya), berhukumlah kalian pada al-Quran dan as-Sunnah dalam perkara apa saja yang kalian perselisihkan jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir. Ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dalam obyek perselisihan pada al-Quran dan as-Sunnah, tidak merujuk pada keduanya, bukanlah orang yang mengimani Allah dan Hari Akhir.”
Perintah agar kaum Muslim berhukum pada hukum-hukum Allah SWT (syariah Islam) bertebaran dalam al-Quran, seperti dalam: QS al-Maidah [5]: 48-49; an-Nisa [4]: 59, 60 dan 65; al-Hasyr [47]: 7; al-Ahzab [33]: 36; an-Nur [24]: 63; dan lain-lain. Kewajiban ini pun berlaku untuk seluruh manusia sejak Rasulullah saw. diutus hingga Hari Kiamat (QS Saba` [34]: 28 dan al-Araf [7]: 158).
Banyak kewajiban yang Allah SWT perintahkan di dalam al-Quran. Misalnya dalam perkara kepemimpinan; dalam perkara ibadah yang memerlukan peran penguasa seperti pemungutan zakat, masalah ekonomi, jihad, hudûd dan jinâyat; dan sebagainya. Penerapan hukum-hukum itu mengharuskan adanya penguasa sebagai pelaksananya yang oleh Islam disebut imam atau khalifah; juga mengharuskan adanya sistem pelaksanaannya yang disebut Khilafah.
Imam Hasan an-Naisaburi, ketika menjelaskan ayat tentang kewajiban menerapkan sanksi cambuk terhadap pezina ghayru muhshan, berkata: “Umat telah bersepakat bahwa pihak yang diseru dengan firman-Nya, “Cambuklah oleh kalian…” adalah Imam (Khalifah) hingga mereka berhujjah dengan ayat ini atas kewajiban mengangkat imam (khalifah). Pasalnya, suatu kewajiban yang tidak sempurna tanpa sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.” (Imam Hasan an-Naisaburi, Tafsîr an-Naysaburi, V/465).

Karena itulah, aktivitas mendakwahkan Islam mencakup seruan kepada umat Islam untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah. Penerapannya melalui sistem Khilafah yang dipimpin oleh khalifah. Khilafah dan khalifah merupakan bagian dari ajaran Islam yang harus terus didakwahkan kepada umat. Karena itu mendakwahkan Islam tidak dikatakan lengkap tanpa seruan ke arah penegakan Khilafah yang akan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Penerapan syariah Islam secara kaffah tentu akan mendatangkan kebaikan dan keberkahan (Lihat: QS al-Hadid [57]: 9; QS al-Anbiya [21]: 107). Tegasnya, keberkahan hidup di dunia dan akhirat hanya bisa diraih dengan mengamalkan dan menerapkan ssecara total hukum-hukum Allah SWT atau syariah Islam, bukan hukum-hukum buatan manusia.
Karena itu dakwah Islam—termasuk di di dalamnya mendakwah syariah dan khilafah—pasti bakal mendatangkan berkah dari Allah SWT. Apalagi dakwah seperti itu pada hakikatnya adalah upaya riil mewujudkan keimanan dan ketakwaan penduduk negeri yang menjadi prasyarat pintu-pintu keberkahan dari langit dan bumi dibukakan oleh allah SWT (QS al-Araf [7]: 96).
Jika dakwah mendatangkan rahmat dan keberkahan, sebaliknya meninggalkan dakwah merupakan kerugian besar bagi seorang Muslim. Pasalnya, Rasulullah saw telah bersabda:

لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُسَلِّطَنَّ اللَّهُ عَلَيْكُمْ شِرَارَكُمْ، ثُمَّ يَدْعُو خِيَارُكُمْ فَلا يُسْتَجَابُ لَكُمْ

Kalian sungguh-sungguh menyerukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran atau Allah benar-benar akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang buruk di antara kalian, lalu orang-orang baik di antara kalian berdoa, tetapi doa mereka tidak Allah kabulkan (HR Ibnu Hibban).

Berdasarkan hadits di atas, meninggalkan dakwah jelas haram. Jika meninggalkan saja haram, apalagi menghalangi dan menjegal dakwah, tentu lebih diharamkan lagi. Menjegal dakwah Islam, termasuk dakwah syariah dan Khilafah, sama artinya menghalangi negeri ini dan rakyatnya keluar dari berbagai persoalan akibat eksploitasi dan kerusakan sistem kapitaslime. Sebab Islam dengan syariahnya—termasuk Khilafah—datang untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia dan kezaliman sistem selain Islam menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT dan menuju keadilan Islam.
Menjegal dakwah—yang di dalamnya ada amar makruf nahi mungkar—akan membuat kemungkaran terus merajalela. Itu artinya pintu bencana terbuka bagi semua orang, termasuk orang-orang salih. Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda:

إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَاصِي فِي أُمَّتِي، عَمَّهم اللَّهُ بِعَذَابٍ مِنْ عِنْدِه
ِ
Jika ragam kemaksiatan di tengah umatku telah nyata, Allah pasti akan menimpakan azab-Nya kepada mereka secara merata (HR Ahmad).

Karena itu wajar jika sikap menghalangi dakwah, yakni menghalangi manusia dari jalan Allah SWT, dinyatakan sebagai sifat dan karakter setan (QS az-Zukhruf [43]: 37); perilaku orang-orang musyrik dan kafir (QS al-Araf [7]: 45; Hud [11]: ); sikap orang yang angkuh lagi sombong (QS al-Anfal [8]: 47); serta sikap orang-orang yang lebih mencintai dunia daripada akhirat dan berada dalam kesesatan yang jauh (QS Ibrahim [14]: 3). Sikap menghalangi dakwah dan memusuhi para pengembannya juga merupakan sikap orang-orang munafik (QS an-Nisa [4]: 61).
Jika saat ini ada pihak-pihak yang berusaha menghalangi dan menjegal dakwah Islam, syariah dan Khilafah, maka semestinya mereka belajar dari sejarah. Dulu pihak-pihak yang lebih kuat dan lebih banyak mengumpulkan harta telah berusaha menghalangi dan menjegal dakwah, namun mereka gagal dan dibinasakan oleh Allah SWT. Karena itu sekarang pun hasil akhirnya pasti akan sama. Upaya menghalangi dan menjegal dakwah pasti gagal. Jika pun sebagian dari para penghalang dan penjegal dakwah itu merasa bisa selamat di dunia, niscaya di akhirat kelak mereka tidak akan bisa selamat dari hukuman dan siksa pada Hari Pengadilan Allah, Zat yang Maha Adil.
WalLâh alam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
Sungguh Allah melaksanakan urusan yang Dia kehendaki. Sungguh Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
(TQS ath-Thalaq [65]: 3).

Download Pdf di https://bit.ly/2E3auss

Kamis, 14 Februari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 78

Buletin Dakwah Kaffah No. 078
[10 Jumadil Akhir 1440 H | 15 Februari 2019]






JADILAH PEMUDA TERBAIK!

Pemuda adalah harapan masa depan umat. Berkualitas pemuda hari ini, penuh ketaatan, cerahlah masa depan suatu kaum. Buruk kondisi kaum muda hari ini, suramlah nasib bangsa tersebut di kemudian hari.
Karena itulah Nabi saw. mengingatkan kaum Muslim untuk menjaga masa muda mereka sebaik-baiknya:

اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ…

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu...” (HR al-Baihaqi).

Sejarah emas Islam mencatat banyak pemuda yang harum namanya karena memuliakan Islam. Sejak Generasi Sahabat hingga Sultan Muhammad al-Fatih yang menaklukkan Konstantinopel yang menjadi gerbang tersebarnya Islam ke Eropa. Kejayaan Islam banyak digerakkan oleh barisan kaum muda.
Para ulama salafush-shalih mendidik kaum tunas muda ini agar kelak muncul generasi penerus umat. Mereka paham, menyia-nyiakan pembinaan kaum muda sama artinya dengan merencanakan kehancuran suatu bangsa.

Krisis Moral Pemuda

Sepatutnya umat hari ini merasa prihatin melihat kondisi para remaja dan pemuda hari ini. Banyak anak muda kita terpapar krisis moral. Suul adab dan senang melakukan kekerasan adalah salah satu penyakit akhlak yang kini menjangkiti sebagian remaja di Tanah Air. Data UNICEF tahun 2016 menunjukkan bahwa kekerasan kepada sesama remaja di Indonesia diperkirakan mencapai 50%. Sebut saja kekerasan oleh gang motor, tawuran dan saling bully yang masih mendominasi perilaku remaja dan pelajar. Khusus untuk gang motor, menurut Polda Jabar, 50% pelakunya adalah pelajar.
Kekerasan itu bukan saja dilakukan kepada sesama remaja, tetapi juga kepada orangtua bahkan guru. Beberapa kali netizen dikejutkan dengan viralnya video siswa melakukan tindakan tak terpuji kepada guru mereka. Dari mulai mem-bully guru, merokok di kelas, menantang berkelahi sampai memaki-maki guru dan memukuli penjaga sekolah. Bahkan seorang guru satu SMA di Madura dianiaya seorang muridnya di sekolah hingga tewas.
Selain kekerasan, remaja kita juga rawan terjerat seks bebas. Data yang dikeluarkan oleh sebuah aplikasi penyedia layanan kesehatan memperlihatkan 68% pertanyaan yang diajukan oleh user berkutat pada pembahasan mengenai seks. Mirisnya lagi, mayoritas user yang bertanya mengenai hal serupa merupakan kelompok remaja antara 16-25 tahun.
Perilaku seks bebas remaja dan pelajar biasanya meningkat pada perayaan Hari Valentine. Sejumlah media massa memberitakan bahwa pada malam Valentine penjualan kondom justru meningkat. Ironisnya, pembelinya kebanyakan adalah remaja tanggung.
Perbuatan bejat ini berdampak pada meningkatnya kehamilan tak diinginkan (KTD) dan aborsi oleh remaja. Menurut Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM, Sri Purwaningsih, tingkat remaja yang hamil dan melakukan upaya aborsi mencapai 58%.
Perayaan Valentine semakin marak karena banyak pihak yang mensponsorinya. Televisi swasta, tempat-tempat hiburan, hotel dan mal menggelar berbagai Perayaan Valentine. Mereka menyediakan berbagai voucher hadiah, termasuk menginap bagi pasangan muda-mudi, tak peduli status pernikahan mereka.

Tanggung Jawab Semua Pihak

Menyikapi kekerasan pelajar terhadap guru, Mendiknas Muhadjir Effendie justru meminta guru untuk melakukan introspeksi. "Gurunya juga harus introspeksi supaya bisa tampil berwibawa, disegani oleh siswa. Itu juga mutlak. Guru itu harus jadi teladan, harus jadi contoh…," katanya kepada wartawan.
Padahal tak hanya guru. Semua pihak harus introspeksi diri dan berbenah. Pasalnya, banyak pihak yang terlibat dalam pendidikan remaja. Pertama, orangtua adalah pihak pertama dan paling utama dalam pendidikan anak. Faktanya, hari ini banyak orangtua abai dalam menanamkan keimanan dan adab-adab islami kepada anak-anak. Orangtua lebih menekankan prestasi belajar ketimbang pembentukan kepribadian Islam. Mereka luput mengajarkan anak soal halal-haram dan adab. Terbukti banyak remaja Muslim yang pacaran, bahkan terjerumus ke dalam seks bebas, tindak kekerasan, dan cacat moral lainnya.
Kedua, negara wajib menyelenggarakan pendidikan berbasis agama (Islam). Bukan seperti saat ini, sistem pendidikan cenderung sekular. Islam dipisahkan dari dunia pendidikan. Berulang negara malah mencurigai remaja dan pelajar yang mendalami Islam dengan tudingan terpapar paham Islam radikal dan Khilafah. Bahkan sempat muncul tudingan bahwa rohis sekolah menjadi bibit-bibit kemunculan terorisme. Sekolah dan kampus lalu dijadikan sasaran program deradikalisasi ajaran Islam. Akhirnya, Islam makin dijauhkan dari dunia pendidikan.
Ketiga, aturan sosial dan hukum yang berlaku banyak mengabaikan perlindungan pada moral remaja. Tak ada pencegahan dan sanksi bagi remaja yang melakukan hubungan seks bebas atau melakukan aborsi. Belakangan sedang digodog RUU Perlindungan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang justru berpotensi melegalkan seks bebas dan aborsi.
Remaja pelaku kekerasan juga kerap lolos dari jerat hukum karena dianggap masih di bawah umur. Karena itu mereka hanya dikenakan pembinaan sekalipun melakukan tindak kejahatan pembunuhan.
Bila keadaan ini yang terus terjadi, bagaimana remaja Muslim di Tanah Air bisa menjadi generasi terbaik?

Jadilah Pemuda Terbaik!

Para remaja dan pemuda Muslim sudah saatnya sadar bahwa di pundak mereka kelak akan diletakkan amanah memimpin umat dan membangun negeri. Masa muda bukanlah masa untuk menceburkan diri dalam suasana hedonisme, bersenang-senang tanpa batas halal dan haram, sambil berpikir bahwa umur masih panjang. Nabi saw. telah mengingatkan:

اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِك، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, keadaan kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum saat sibukmu dan saat hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR al-Baihaqi).

Masa muda hanya sekali dan waktu tak bisa diputar kembali. Bila masa muda habis untuk memuaskan hawa nafsu, kelak akan datang penyesalan pada hari tua. Bahkan tak sedikit manusia yang telah rusak jiwa dan raganya pada usia muda. Imam Hasan al-Bashri pernah berpesan, "Wahai kaum pemuda. Kadang tanaman yang masih muda pun bisa rusak dan mati karena terkena hama sehingga ia tidak bisa sampai ke masa panen."
Para pemuda yang bisa mengendalikan dirinya dari hawa nafsu mendapatkan pujian dari Allah SWT. Sabda Nabi saw:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَعْجَبُ مِنَ الشَّابِّ لَيْسَتْ لَهُ صَبْوَةٌ

“Sungguh Allah Azza wa Jalla benar-benar kagum terhadap pemuda yang tidak memiliki shabwah.” (HR Ahmad).

Mereka adalah kaum muda yang meninggalkan hawa nafsunya yang negatif dan berbuat baik dalam agama. Para pemuda semacam inilah yang akan Allah SWT beri kedudukan istimewa kelak pada Hari Akhir. Sabda Nabi saw:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ :... وَشَابٌّ نَشَأَ فِى عِبَادَةِ رَبِّهِ

“Ada tujuh golongan manusia yang akan Allah naungi dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya:… pemuda yang tumbuh dalam suasana ibadah (ketaatan) kepada Tuhannya.” (HR al-Bukhari).

Yang Harus Dilakukan Para Pemuda

Untuk itu para pemuda harus melakukan sejumlah hal: Pertama, hujamkan keimanan bahwa Islam adalah agama yang paripurna; mengatur urusan dunia dan akhirat, bukan sekadar spiritual. Tak ada agama serta sistem kehidupan yang terbaik kecuali hanya Islam (Lihat: QS Ali Imran [3]: 85).
Kedua, kaji Islam sebagai ideologi, bukan sekadar ilmu pengetahuan. Mereka wajib terikat dengan syariah Islam. Dengan terikat pada syariah Islam, pemuda Muslim akan menilai baik-buruk berdasarkan ajaran Islam. Mulai dari pergaulan dengan lawan jenis, adab kepada orangtua dan guru sampai memilih pemimpin akan dilandasi dengan nilai-nilai Islam.
Ketiga, senantiasa memiliki sikap berpihak pada Islam, bukan netral, apalagi oportunis demi mencari keuntungan duniawi. Banyak remaja dan pemuda Muslim hari ini yang hidup bak pucuk pohon ditiup angin. Ke mana angin bertiup ke sanalah mereka terbawa. Pemuda Muslim harus memiliki keteguhan pada Islam hingga akhir hayat.
Keempat, terlibat dalam dakwah Islam demi tegaknya syariah dan Khilafah Islam. Sungguh kemuliaan Islam hanya bisa tampak bila umat, khususnya kaum muda, senantiasa berdakwah untuk menegakkan Islam. Al-Quran telah merekam keteguhan iman dan kesungguhan perjuangan para pemuda Kahfi hingga mereka mendapat pertolongan dan perlindungan Allah SWT (Lihat: QS Kahfi [18]: 13-14).
WalLâhu alam bi ash-shawab. []

Hikmah:

Nabi saw bersabda:

لاَ تَكُونُوا إِمَّعَةً تَقُولُونَ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَحْسَنَّا وَإِنْ ظَلَمُوا ظَلَمْنَا وَلَكِنْ وَطِّنُوا أَنْفُسَكُمْ إِنْ أَحْسَنَ النَّاسُ أَنْ تُحْسِنُوا وَإِنْ أَسَاءُوا فَلاَ
تَظْلِمُوا

“Jangan kalian menjadi immaah! Kalian berkata, Jika manusia berbuat baik, kami pun akan berbuat baik. Jika mereka berbuat zalim, kami juga akan berbuat zalim. Akan tetapi, kokohkan diri kalian. Jika manusia berbuat baik, kalian juga berbuat baik. Jika mereka berbuat buruk, jangan kalian berlaku zalim.”
(HR at-Tirmidzi). []

Download Pdf di https://https://bit.ly/2TUC2Hq

Kamis, 07 Februari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 077

Buletin Dakwah Kaffah No. 077
[03 Jumadil Akhir 1440 H | 8 Februari 2019]

SIAPA PEMIMPIN DIKTATOR?

Setelah keruntuhan Khilafah di Turki tahun 1924, umat Islam di seluruh dunia dipimpin oleh para pemimpin diktator (al-mulk al-jabri). Rezim diktator ini merupakan fase sekaligus model keempat dari sistem pemerintahan yang di-nubuwat-kan 14 abad lalu oleh Nabi saw. bakal memimpin umat. Beliau bersabda:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Ada masa Kenabian (Nubuwwah) di tengah-tengah kalian yang tetap ada atas kehendak Allah. Lalu Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian yang tetap ada atas kehendak Allah. Lalu Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan yang menggigit yang tetap ada atas kehendak Allah. Lalu Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada masa kekuasaan diktator (mulk[an] jabariyah) yang tetap ada atas kehendak Allah. Lalu Allah mengangkat masa itu jika Dia berkehendak mengangkatnya. Selanjutnya akan ada kembali masa Khilafah yang menempuh jejak Kenabian.” Setelah itu Nabi saw. diam (HR Ahmad).
Siapa Pemimpin Diktator?
Menurut Syaikh Hisyam al-Badrani, pemimpin diktator (al-mulk al-jabriy) adalah pemimpin yang menegakkan hukum-hukum kufur di negeri-negeri kaum Muslim. Ini jelas sekali didasarkan pada dalalah (pengertian) nas-nas syariah mengenai definisi al-mulk al-jabriy...” (Hisyam al-Badrani, An-Nizham as-Siyasi ba’da Hadm al-Khilafah, hlm. 38).
Lalu apa ciri-cirinya? Menurut banyak nas Hadis Nabi saw., di antara ciri-ciri pemimpin diktator ini adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak mempunyai kapabilitas untuk memimpin masyarakat banyak. Pemimpin seperti ini oleh Nabi saw. disebut dengan ruwaybidhah. Pemimpin ruwaybidhah sangat berbahaya dan sangat merusak bagi umat Islam maupun umat manusia pada umumnya. Pemimpin seperti ini dapat menjungkirbalikkan segala nilai dan tatanan. Orang jujur dikatakan pembohong. Pembohong dikatakan jujur. Pengkhianat dipercaya. Orang terpercaya malah dianggap pengkhianat. Rasul saw bersabda:
سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيْؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَخُونُ فِيهَا الأَمِينُ وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ: وَمَا الرَّوَيْبِضَةُ. قَالَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ.
”Akan datang pada manusia tahun-tahun yang penuh tipudaya. Pada tahun-tahun itu pendusta dibenarkan, orang jujur didustakan; pengkhianat dipercaya, orang terpercaya dianggap pengkhianat. Pada masa itu yang banyak berbicara adalah ruwaybidhah.” Ada yang bertanya, ”Apa itu ruwaybidhah?” Rasul bersabda, ”Yaitu orang dungu yang berbicara tentang urusan orang banyak.” (HR Ibnu Majah).
Kedua, tidak mengikuti petunjuk dan Sunnah Rasulullah saw. Pada faktanya, saat ini yang diikuti oleh pemimpin diktator bukanlah ajaran Islam (Sunnah Rasulullah saw), melainkan sistem demokrasi-sekular yang merupakan ajaran dan “sunnah” kaum kafir penjajah (Yahudi dan Nasrani) dari Barat. Kepemimpinan seperti ini disebut oleh Nabi saw. dengan istilah imarat as-sufaha’ (kepemimpinan orang-orang bodoh). Orang yang mengikuti kepemimpinan orang-orang bodoh ini kelak tidak akan diakui Nabi saw. sebagai umatnya dan tidak akan menjumpai Nabi saw. di telaganya pada Hari Kiamat kelak. Rasul saw bersabda kepada Kaab bin ‘Ujrah:
أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ. قَالَ: وَمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ؟ قَالَ: أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِي لَا يَقْتَدُونَ بِهَدْيِي وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلَا يَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِي وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَيَّ حَوْضِ
“Kaab bin ‘Ujrah, semoga Allah melindungi kamu dari imarat as-sufaha’ (kepemimpinan orang-orang bodoh).” Kaab bin ‘Ujrah bertanya, ”Apa itu imarat as-sufaha’, wahai Rasulullah saw.?” Beliau menjawab, ”Yaitu para pemimpin yang akan datang setelah aku. Mereka itu tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan Sunnahku. Siapa saja yang membenarkan perkataan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka dia tidak termasuk golonganku dan aku pun bukan termasuk golongannya; dia juga tidak akan mendatangi aku di telagaku (pada Hari Kiamat kelak). Namun, siapa saja yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka, maka dia termasuk golonganku dan aku pun termasuk golongannya; dia juga akan mendatangi aku di telagaku (pada Hari Kiamat kelak).” (HR Ahmad).
Ketiga, bertindak kejam dan biadab. Dia tidak segan memenjarakan, menyiksa bahkan membunuh rakyatnya sendiri jika tidak mau tunduk kepada dirinya. Pemimpin seperti ini, dalam sebagian atsar dari para Sahabat, disebut dengan imarat ash-shibyan alias kepemimpinan anak-anak, yakni kepemimpinan orang-orang yang belum sempurna akalnya sebagaimana halnya anak-anak. Abu Hurairah ra berkata:
وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدْ اقْتَرَبَ: إمَارَةُ الصِّبْيَانِ إنْ أَطَاعُوهُمْ أَدْخَلُوهُمْ النَّارَ وَإِنْ عَصَوْهُمْ ضَرَبُوا أَعْنَاقَهُمْ
”Celakalah orang Arab karena suatu kejahatan yang telah dekat, yaitu imarat ash-shibyan (kepemimpinan anak-anak); yakni kepemimpinan yang jika rakyat menaati mereka, mereka akan memasukkan rakyatnya ke dalam neraka. Namun, jika rakyat tidak mentaati mereka, mereka akan membunuh rakyatnya sendiri.” (HR Ibnu Abi Syaibah).
Tuntunan Nabi saw dalam Merespon Pemimpin Diktator
Lalu bagaimana kita merespon pemimpin diktator (al-mulk al-jabriy) yang tengah mencengkeram dan menindas umat? Pertama, menjauhkan diri dari mereka. Hal ini tampak jelas dari hadis penuturan Hudzaifah bin al-Yaman ra:
Orang-orang biasanya bertanya kepada Rasululah saw. tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, khawatir keburukan akan menimpaku. Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, sungguh dulu kami dalam kejahiliahan dan keburukan. Lalu Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini. Kemudian apakah setelah kebaikan ini ada keburukan? Rasulullah saw. menjawab, “Iya.” Lalu aku bertanya, “Apakah setelah keburukan ini ada kebaikan?” Rasulullah saw. menjawab, ”Iya, dan padanya [kebaikan] ada asap.” Aku bertanya, “Apa asapnya?Rasulullah saw bersabda, “Ada satu kaum yang berperilaku dengan selain Sunnahku, dan berpetunjuk dengan selain petunjukku. Sebagian dari mereka kamu ketahui dan kamu akan ingkari.” Aku bertanya, “Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?” Rasulullah saw menjawab, “Iya, yaitu ada para dai (penyeru) di pintu-pintu Jahanam. Siapa saja yang menyambut seruan mereka, mereka akan melemparkan dia ke dalam Jahanam.” Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, jelaskan sifat mereka kepada kami.” Rasulullah saw bersabda, “Baik. Mereka adalah satu kaum yang kulitnya sama dengan kulit kita. Mereka berbicara dengan lisan kita.” Aku bertanya, “Lalu apa pendapat Anda jika hal itu menimpa diriku?” Rasulullah saw menjawab, “Berpeganglah dengan jamaah kaum Muslim dan Imam mereka.” Aku bertanya, “Lalu jika tidak ada lagi jamaah kaum Muslim dan Imam mereka?” Rasulullah saw bersabda, “Jauhilah kelompok-kelompok itu semuanya walaupun kamu harus menggigit akar pohon hingga maut menjemputmu, sementara kamu tetap dalam keadaan demikian.” (HR Muslim).
Dalam hadis tersebut terdapat dalil, bahwa dalam kondisi tiadanya Imam (Khalifah) bagi kaum Muslim seperti saat ini, yang harus dilakukan umat Islam adalah menjauhkan diri (i’tizal) dari mereka. Ini juga isyarat halus bahwa dalam kondisi tiadanya Imam (Khalifah) bagi kaum Muslim seperti sekarang ini, metode perubahan yang semestinya dilakukan bukanlah dengan “masuk sistem” seperti yang ditempuh oleh sebagian kaum Muslim, melainkan justru harus “di luar sistem”. Tentu dengan terus berjuang mewujudkan Imam (Khalifah) dan jamaah kaum Muslim yang bernaung dalam sistem Khilafah.
Kedua, tidak mendengar dan mentaati mereka. Hal ini ditunjukkan oleh sabda Nabi saw:
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang Muslim untuk mendengar dan mentaati (pemimpin) dalam hal apa saja yang dia senangi ataupun yang dia benci, kecuali jika dia diperintahkan untuk bermaksiat maka maka dia tidak boleh mendengar dan taat.” (HR Muslim).
Ketiga, tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka. Hal ini ditunjukkan oleh hadis tentang imarat as-sufaha’ di atas.
Keempat, berdoa kepada Allah SWT agar selamat dari kepemimpinan mereka yang zalim dan kejam. Hal ini sebagaimana doa Nabi saw. kepada Sahabat Kaab bin ‘Ujrah, juga dalam hadis tentang imarat as-sufaha’ di atas.
Semoga kepemimpinan para rezim diktator di seluruh dunia saat ini segera berakhir. Amin. []

Hikmah:
Rasulullah saw. bersabda:
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla (HR Ahmad).

Download Pdf disini: http://bit.ly/2SjmKyQ

Minggu, 03 Februari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 76



Buletin Dakwah Kaffah Edisi 76
[26 Jumadil Awwal 1440 H — 1 Februari 2019]

MEWUJUDKAN INDONESIA
Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur

Meski saat ini carut-marut, ada harapan negeri ini menjadi lebih baik. Segenap kaum Muslim selalu berharap agar Indonesia bisa menjadi sebuah negeri yang penuh dengan kemakmuran dan berlimpah ampunan Allah Azza wa Jalla (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Sebuah negara yang baik, kehidupan masyarakatnya juga baik. Kebutuhan hidupnya terpenuhi. Keamanannya terjaga. Masyarakatnya juga jauh dari sikap permusuhan dan saling membenci. Mereka justru toleran dan saling memaafkan. Dengan itu ampunan Allah Sang Maha Pengampun turun kepada mereka.
Banyak kalangan merasa prihatin melihat kenyataan Indonesia saat ini. Negeri ini berlimpah sumberdaya alamnya, namun tak dapat menjamin kemakmuran penduduknya. Pasalnya, sebagian besar kekayaan itu justru diserahkan kepada pihak asing. Warga pun tidak mudah untuk memenuhi kebutuhan pokok, pelayanan kesehatan yang memadai, juga jaminan keamanan.
Di sisi lain, jumlah Muslimnya mayoritas, tetapi keislaman mereka justru kurang tampak dalam kehidupan. Bahkan aturan Islam yang kaffah tidak hadir mengatur urusan masyarakat.
Namun demikian, selalu muncul harapan agar suatu ketika negeri ini menjadi negeri yang lebih baik lagi.

Gambaran Al-Qur'an

Frasa baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur ada dalam firman Allah SWT. Frasa tersebut disematkan pada negeri Saba.

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Sungguh bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan), "Makanlah oleh kalian dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhan kalian dan bersyukurlah kalian kepada-Nya. (Negeri kalian) adalah negeri yang baik dan (Tuhan kalian) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (TQS Saba [34]: 15).

Imam Ibnu Katsir rahimahulLah, ketika menafsirkan ayat ini, menyatakan: “Saba adalah (sebutan) raja-raja Negeri Yaman dan penduduknya…Dulu mereka berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan yang mengisi negeri dan kehidupan mereka, kelapangan rezeki mereka serta tanam-tanaman dan buah-buahan mereka. Allah SWT lalu mengutus kepada mereka para rasul. Para rasul itu menyeru mereka agar memakan rezeki yang Dia berikan dan agar bersyukur kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Keadaan mereka (yang baik) itu terus berlangsung hingga masa yang Allah kehendaki. Lalu mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka. Akibatnya, mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang dan terpencar-pencarnya mereka di banyak negeri.” (Tafsir Ibnu Katsîr, 6/445).
Adapun makna “rabbun ghafur”, menurut Imam ath-Thabari rahimahulLah, bermakna, “Rabb kalian adalah Rabb Yang Maha Pengampun jika kalian mentaati-Nya”. (Tafsir ath-Thabari, 6/215).
Sayang, kejayaan dan kemakmuran negeri Saba berakhir saat mereka berpaling dari peringatan Allah SWT dengan meninggalkan ketaatan kepada-Nya. Allah SWT lalu menimpakan azab keras yang memporakporandakan keadaan yang semula baik itu.

فَأَعْرَضُوا فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنَاهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ أُكُلٍ خَمْطٍ وَأَثْلٍ وَشَيْءٍ مِنْ سِدْرٍ قَلِيلٍ

Lalu mereka berpaling sehingga Kami mendatangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami mengganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr (TQS Saba [34]: 16).

Akibatnya, Negeri Saba yang awalnya subur dan makmur, pasca bencana banjir besar itu, tidak lagi menghasilkan tanaman-tanaman yang dapat menghidupi mereka. Allah SWT mengganti tanaman-tanaman di negeri itu dengan tanaman yang buahnya pahit sehingga hal itu meruntuhkan kejayaan negeri Saba.

Menwujudkan Baldah Thayyibah

Belajar dari kaum Saba, seharusnya umat Muslim dapat mengambil sejumlah hikmah antara lain: Pertama, bahwa kemakmuran dan kejayaan suatu kaum semata-mata adalah karunia Allah SWT. Hal itu bisa diraih dengan cara mentauhidkan Allah SWT, mengimani dan mengikuti ajaran rasul-Nya serta menerapkan syariah-Nya. Allah SWT berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan oleh perbuatan mereka itu (TQS al-Araf [7]: 96).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa” maknanya adalah: “Kalbu-kalbu mereka mengimani apa saja yang dibawa oleh para rasul kepada mereka. Mereka membenarkan dan mengikuti para rasul itu. Mereka bertakwa dengan melakukan ragam ketaatan dan meninggalkan aneka keharaman…” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/404).
Sebagaimana kaum Saba yang telah Allah SWT perintahkan untuk mensyukuri berbagai kenikmatan, kaum Muslim juga diperintahkan untuk bersyukur atas karunia-Nya:

...لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

…Jika kalian bersyukur, pasti Allah akan menambah nikmat-Nya kepada kalian. Jika kalian kufur, sungguh azab-Ku amat pedih (TQS Ibrahim [14]: 7).

Menurut Ibnu Qayyim al-Jauzi, “Syukur adalah menampakkan nikmat Allah. Secara lisan dengan cara memuji dan mengakui. Secara hati dengan persaksian dan kecintaan (kepada Allah). Secara anggota tubuh dengan terikat dan taat (pada syariah-Nya),” (Madarij as-Salikin, 2/244).
Inilah sikap syukur hakiki, yakni taat dan tunduk pada segenap aturan Allah SWT. Sikap semacam inilah yang akan melanggengkan keberlimpahan nikmat dan karunia pada suatu negeri dan menjadikan negeri itu sebagai baldah thayyibah.
Kedua, agar sebuah negeri bisa mendapatkan status “wa rabbun ghafur” adalah selalu bersegera kembali ke jalan Allah SWT dengan menjaga tauhid dan kembali menaati-Nya. Imam ath-Thabari rahimahulLah dalam tafsirnya menjelaskan frasa wa rabbun ghafur dengan menyatakan: “Rabb kalian adalah Rabb Yang Maha Pengampun jika kalian mentaati-Nya.” (Tafsir ath-Thabari, 6/215).
Manakala berbagai kemaksiatan merebak, kemungkaran merajalela dan ragam perbuatan terlarang dilakukan, sikap yang harus ditunjukkan oleh seorang hamba yang shalih adalah memperbaiki kerusakan tersebut dengan cara kembali pada aturan-aturan Allah SWT. Itulah syarat bila ingin mendapatkan ampunan-Nya. Apalagi Allah SWT telah memerintahkan:

يُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا

Hai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang semurni-murninya (TQS at-Tahrim [66]: 8).

Menurut Ibnu Katsir rahimahulLah, tawbat[an] nashuha, sebagaimana kata para ulama, bermakna: bertobat dari perbuatan dosa, kemudian tidak kembali pada dosa tersebut dan tidak menginginkannya kembali (Tafsir Ibnu Katsir, 8/190).
Dalam konteks Indonesia, bagaimana mungkin aneka kebaikan dan ampunan Allah SWT akan datang bila bangsa ini terus melakukan berbagai kemaksiatan. Ekonomi ribawi terus dipraktikan. Kehidupan sosial liberal-hedonis terus dipertahankan. Syariah Allah SWT tetap dicampakkan. Para penguasa terus berdusta. Para penista agama justru dibela.
Jika bangsa ini tidak segera melakukan tawbat[an] nashuha, dengan meninggalkan semua kemungkaran, lalu kembali ke jalan Allah SWT, pasti negeri ini pun akan mengalami kehancuran.

أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ قَرْنٍ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ مَا لَمْ نُمَكِّنْ لَكُمْ...

Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal sebelumnya kedudukan (generasi itu) telah Kami teguhkan di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepada kalian… (TQS al-Anam [6]: 6).

Kita bisa menyaksikan di negeri ini berbagai kefasadan terjadi. Angka ketimpangan antara orang kaya dan miskin di Indonesia tahun ini mencapai 0,42%. Tertinggi sepanjang sejarah (Country Director Indonesia The World Bank, 2015). Utang luar negeri mencapai Rp 5.410 triliun. Semuanya berbasis riba yang telah Allah SWT haramkan. Krisis keluarga terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2017 saja ada 357 ribu pasangan bercerai. Ironinya, perceraian itu banyak terjadi pada pasangan dengan usia pernikahan di bawah lima tahun. KDRT, khususnya dengan korban perempuan, terus mengalami peningkatan hingga 71%. Tahun 2017 tercatat 348.446 kasus, melonjak jauh dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 259.150 kasus. Tentu masih banyak lagi kefasadan yang telah terjadi di negeri ini seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi, ketidakadilan hukum, kerusakan moral (seperti perzinaan, pelacuran, LGBT, dll), dsb.

Karena itu, jika bangsa ini menghendaki negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, semestinya mereka berusaha keras mengubah kondisi fasad ini agar sesuai dengan tuntunan Allah SWT. Caranya adalah dengan melaksanakan syariah-Nya secara kaffah. Itulah tuntunan hakiki atas kaum Muslim yang mengharapkan keberkahan dan ampunan Ilahi. Bukankah ironi jika kita mengharapkan aneka kebaikan datang, tetapi justru kita menjauh dari Allah SWT sebagai Pemilik segala kebaikan? []

Hikmah:

Allah SWT berfirman:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), bagi dia kehidupan yang sempit dan di akhirat kelak Kami akan membangkitkan dirinya dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124). []

Download Pdf di https://bit.ly/2Rr6S8d

Jumat, 25 Januari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 75



Buletin Dakwah Kaffah No. 075
[19 Jumadil Awwal 1440 H | 25 Januari 2019]
MEWASPADAI KEPEMIMPINAN
ORANG-ORANG BODOH
Setidaknya dalam beberapa bulan ke depan, suasana perpolitikan di Tanah Air dipastikan makin dinamis. Bahkan suasananya bisa makin panas. Terutama tentu karena faktor Pilpres pada bulan April 2019 mendatang.
Saat ini Pilpres menjadi satu-satunya ajang bagi rakyat di negeri ini untuk memilih pemimpin terbaik mereka. Namun sayang, faktanya, dari beberapa kali Pilpres, pemimpin yang terpilih tidak selalu yang terbaik. Bahkan sering lebih buruk daripada para pemimpin sebelumnya.
Mengapa demikian? Sebab yang paling utama, kapasitas dan kualitas para calon pemimpin tidak diukur, ditakar atau ditimbang dengan al-Quran dan as-Sunnah; tetapi oleh konstitusi dan perundangan yang ada, yang sama sekali tidak merujuk pada al-Quran dan as-Sunnah. Misal, tak ada satu pun pasal atau ayat dalam konstitusi maupun perundangan (UU Pemilu/Pilpres), misalnya, yang menyatakan bahwa para Capres dan Cawapres wajib bisa membaca al-Quran. Apalagi wajib berkomitmen untuk menerapkan syariah Islam setelah mereka terpilih menjadi pemimpin. Padahal inilah sesungguhnya yang dituntut di dalam Islam. Dalam Islam, seorang pemimpin (imam/khalifah) dipilih dan dibaiat tidak lain untuk menerapkan al-Quran dan as-Sunnah atau syariah Islam. Hanya dengan menerapkan syariah Islamlah, kepemimpinan tidak akan—sebagaimana yang dikhawatirkan Nabi saw.—menjadi imârah as-sufahâ (kepemimpinan orang-orang dungu/bodoh).
Pemimpin Bodoh/Dungu
Sebagaimana diketahui, Rasulullah saw pernah bersabda:
«أَخَافُ عَلَيْكُمْ سِتًّا: إِمَارَةَ السُّفَهَاءِ…»
“Aku mengkhawatirkan atas diri kalian enam perkara yaitu (salah satunya, red.): kepemimpinan orang-orang bodoh/dungu…” (HR Ahmad dan ath-Thabarani).
Dalam hadis di atas, ada enam perkara yang dikhawatirkan Rasul saw terjadi atas umat ini. Salah satunya—dan yang paling pertama disebut oleh beliau—adalah imârah as-sufahâ (kepemimpinan orang-orang dungu/bodoh). Imârah as-sufahâ disebut di urutan pertama karena boleh jadi perkara inilah yang paling dikhawatirkan oleh Nabi saw. terjadi atas umat ini.
As-Sufahâ` bentuk jamak dari safîh. Artinya: orang bodoh/dungu, kurang akal dan keahlian, ahlu al-hawa (biasa memperturutkan hawa nafsu), sembrono/gegabah serta buruk tindakan dan penilaiannya. Di dalam Islam, as-sufahâ` ini tidak boleh diberi kepercayan untuk mengelola sendiri hartanya (QS an-Nisa [4]: 5). Islam memerintahkan agar diangkat seorang washi yang mengurusi harta milik as-sufahâ` ini. As-Sufahâ` juga di-hijr (dilarang untuk melakukan transaksi apapun). Jika mengelola harta sendiri dan bertransaksi apapun dilarang, lalu bagaimana as-sufahâ` bisa dipercaya untuk mengelola harta orang lain, apalagi harta publik? Bagaimana mungkin pula mereka bisa dipercaya untuk mengurusi nasib orang banyak? Jika itu terjadi, pasti kerusakan dan kehancuranlah hasilnya.
Dalam hadis lain, Rasul saw menggambarkan dengan sangat gamblang apa yang dimaksud imârah as-sufahâ`. Beliau bersabda kepada Ka'ab bin Ujrah:
«أَعَاذَكَ اللَّهُ مِنْ إِمَارَةِ السُّفَهَاءِ. قَالَ: َمَا إِمَارَةُ السُّفَهَاءِ قَالَ :أُمَرَاءُ يَكُونُونَ بَعْدِى لاَ يَقْتَدُونَ بِهَدْيِى وَلاَ يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِى…»
“Semoga Allah melindungi kamu dari imârah as-sufahâ`.” Kaab bertanya, “Apa itu imârah as-sufahâ`, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah para pemimpin sesudahku, yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak meneladani sunnahku…” (HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Karena itu kepemimpinan penguasa manapun—baik yang IQ-nya rendah maupun yang IQ-nya tinggi—yang tidak merujuk pada petunjuk dan Sunnah Nabi saw. terkategori sebagai imârah as-sufahâ` (pemimpin bodoh/dungu). Tegasnya, pemimpin yang meninggalkan petunjuk al-Quran dan as-Sunnah, seraya menjalankan sistem dan perundangan yang bukan syariah Islam, pada dasarnya itulah imârah as-sufahâ`.
Lalu bagaimana cara menyikapi imâratu as-sufahâ` itu? Rasulullah saw melanjutkan sabdanya dalam hadits di atas:
«فَمَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ لَيْسُوا مِنِّى وَلَسْتُ مِنْهُمْ وَلاَ يَرِدُوا عَلَىَّ حَوْضِى وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَأُولَئِكَ مِنِّى وَأَنَا مِنْهُمْ وَسَيَرِدُوا عَلَىَّ حَوْضِى...»
Siapa saja yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka maka dia bukan golonganku, aku bukan pun bagian dari golongannya dan dia tidak masuk ke telagaku (di surga). Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka maka dia termasuk golonganku, aku pun termasuk golongannya dan dia akan masuk ke telagaku (di surga)...” (HR Ahmad, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw mengajari kita agar tidak membenarkan kebohongan mereka dan tidak membantu kezaliman mereka. Membenarkan jelas tingkatannya di bawah menaati. Jika membenarkan kebohongan mereka saja dilarang, apalagi menaati dan membanntu kezaliman mereka; apalagi memberikan justifikasi, pembenaran atau stempel atas kezaliman mereka.
Sabda Rasul saw, “maka dia bukan golonganku, aku pun bukan bagian dari golongannya dan dia tidak masuk ke telagaku (di surga)” adalah ancaman amat keras terhadap siapapun yang membenarkan kebohongan dan mendukung kezaliman imârah as-sufahâ`. Bayangkan, saat semua manusia sangat mengharapkan diakui sebagai golongan Rasul saw, justru beliau berlepas diri dan menolak mereka.
Pemimpin Pembohong dan Zalim
Pertanyaannya: Siapa yang dimaksud pemimpin pembohong yang haram untuk dibenarkan? Siapa pula pemimpin zalim yang tidak boleh didukung?
Pertama: Pemimpin pembohong. Pemimpin pembohong pada dasarnya adalah pemimpin yang suka menipu dan mengkhianati rakyat. Terkait ini Rasulullah saw bersabda:
«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»
“Tidaklah seorang hamba—yang Allah jadikan pemimpin untuk mengurus rakyat—mati pada hari dia menipu (mengkhianati) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Kata ghâsysy[in] maknanya khâ`in (khianat) atau khâdi (penipu). Artinya, membohongi/mengelabuhi rakyat atau mengkhianati amanah untuk mengurus urusan rakyat.
Hadis ini, menurut Ibn Bathal di dalam Syarh Ibn Bathal, merupakan penjelasan dan ancaman keras terhadap para pemimpin keji (aimmah al-jûr). Karena itu siapa saja yang menelantarkan orang-orang yang telah Allah SWT percaya untuk mengurus rakyat, atau dia mengkhianati rakyat atau menzalimi mereka, maka dia akan dituntut atas kezaliman-kezalimannya terhadap hamba-hamba-Nya pada Hari Kiamat kelak.
Qadhi Iyadh berkata, seperti dikutip oleh Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim li an-Nawawi, “Maknanya jelas, ini adalah peringatan untuk tidak membohongi/menipu (mengkhianati) kaum Muslim.”
Kedua: Pemimpin zalim. Pemimpin zalim yang tidak boleh didukung adalah yang tidak mau berhukum dengan hukum Allah SWT, yakni yang enggan berhukum dengan al-Quran, sebagaimana firman-Nya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah SWT turunkan, mereka itulah pelaku kezaliman (TQS al-Maidah [5]: 55).
Pemimpin Sesat
Selain memperingatkan kita agar tidak membenarkan pemimpin pembohong dan membantu pemimpin zalim, Rasulullah saw pun mengkhawatirkan kita jika sampai dipimpin oleh para pemimpin yang sesat dan menyesatkan. Beliau bersabda:
«إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ اَلْأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ»
“Sungguh yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah para pemimpin yang sesat/menyesatkan.” (HR Ahmad dan ad-Darimi).
Menurut al-Munawi di dalam At-Taysîr bi Syarh Jâmi ash-Shaghîr, para pemimpin sesat/menyesatkan (al-aimmah al-mudhillûn) dalam hadis di atas adalah para pemimpin yang melenceng dan menyimpang dari kebenaran. Kebenaran tentu saja apa saja yang datang dari Allah SWT atau yang tertuang dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Dengan demikian, pemimpin mana pun yang menyimpang dari al-Quran dan as-Sunnah terkategori al-aimmah al-mudhillûn.
Dalam konteks ini, Ziyad bin Hudair menuturkan: Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata kepadaku, “Apakah engkau tahu apa yang menghancurkan Islam?” Aku jawab, “Tidak.” Umar ra berkata:
يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَحُكْمُ اْلأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ.
“Yang menghancurkan Islam adalah ulama yang tergelincir (dalam kesalahan), kaum munafik yang biasa berdebat dan para pemimpin sesat yang memerintah.”
Semoga kita dijauhkan dari para pemimpin yang dicela sekaligus dikhawatirkan oleh Rasulullah saw memimpin umat beliau.
Agar hal demikian tidak terjadi maka marilah kita pilih pemimpin terbaik menurut kriteria Allah SWT dan Rasul-Nya. Tidak lain adalah pemimpin yang mau, mampu dan berani menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. []
Hikmah:
Rasulullah saw bersabda:
«خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ».
“Sebaik-baik imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian doakan mereka dan mereka mendoakan kalian. Sebaliknya seburuk-buruk imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, kalian laknat mereka dan mereka melaknat kalian”. (HR Muslim).
Download PDF di https://bit.ly/2TcRFtl

Jumat, 18 Januari 2019

Buletin Dakwah Kaffah Edisi 74




Buletin Dakwah Kaffah Edisi 74
[12 Jumadil Awwal 1440 H | 18 Januari 2019]

STOP MENDUKUNG
PENGUASA GAGAL DAN INGKAR JANJI

Dalam Islam, penguasa diamanahi berbagai urusan dan kemaslahatan rakyat. Dia akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti di hadapan Allah SWT atas amanah yang dia emban dalam pengurusan berbagai urusan rakyat. Penguasa yang memahami tanggung jawabnya tentu akan sangat berhati-hati dalam semua tindakan, kebijakan dan ucapannya. Dia tidak akan mudah menebar harapan dan janji. Sebab dia tahu semua itu harus dia pertanggungjawabkan di akhirat, di hadapan Allah SWT. Dia sadar kalau dia menjanjikan sesuatu tetapi tidak ditepati, pasti dia akan sengsara di akhirat. Jika dia menjanjikan akan melakukan sesuatu, namun nyatanya tidak dia lakukan, atau menjanjikan tidak akan melakukan sesuatu, tetapi justru dia lakukan, niscaya dia tidak akan luput dari ancaman Allah SWT. Rasulullah saw bersabda:

«مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيْهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٍّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ»

Tidaklah seorang hamba, yang Allah minta untuk mengurus rakyat, mati pada hari di mana dia menipu (mengelabuhi) rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dia surga (HR al-Bukhari dan Muslim).

Pada awal periode rezim sekarang ini, hati rakyat pernah dibuat berbunga-bunga dengan berbagai harapan dan janji. Tentu rakyat masih ingat dengan harapan dan janji itu.
Rakyat pernah diberi harapan, bahwa perekonomian negeri ini akan meroket. Faktanya, pertumbuhan ekonomi pada tahun ini lebih rendah dari angka pertumbuhan yang ditargetkan pada APBN 2018 sebesar 5,4 persen. Padahal target pertumbuhan itu sendiri jauh lebih rendah dari yang pernah diumbar.
Menurut data BPS, kuartal I 2018 angka pertumbuhan hanya 5,06 persen. Kuartal II 5,27 persen dan kuartal III 5,17 persen. Adapun angka pertumbuhan kuartal IV belum dirilis.
Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal IV 2018 akan sama seperti kuartal III, yaitu 5,17% (Tribunnews.com, 22/11/2018).
Rakyat juga diberi harapan, bahwa lapangan kerja akan dibuka secara luas. Harapan itu juga ternyata kosong. Gelombang PHK justru terjadi. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan gelombang PHK di berbagai daerah sedang terjadi. Terdapat catatan KSPI terkait beberapa kasus PHK yang terjadi sepanjang tahun 2018. Dari catatan yang ada, total buruh yang di-PHK mencapai 15 ribu lebih. Menurut dia, tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan kasus-kasus PHK yang terjadi. Berdasarkan catatan KSPI, sektor industri yang akan terancam meliputi garmen, tekstil, elektronik, otomotif, farmasi, industri baja dan semen dan sebagainya (Republika.co.id, 15/1/2019).
Perusahaan juga banyak yang bangkrut selama tiga tahun terakhir. Data dari Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) mencatat sebanyak 37 ribu perusahaan kontraktor swasta mengalami kebangkrutan dalam tiga tahun terakhir (Republika.co.id, 15/1/2019).
Kesulitan juga mendera banyak gerai ritel. HERO Group memutuskan menutup 26 gerai dan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 532 karyawan (Republika.co.id, 14/1/2019). Menurut Bhima Yudhistira, ekonom INDEF, faktor daya beli masyarakat menjadi penyebab utama tutupnya gerai ritel sepanjang dua tahun belakangan.
Sebaliknya, ada yang meroket dalam periode rezim sekarang ini, yaitu utang. Menurut Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI Januari 2019) yang diterbitkan oleh BI, total utang luar negeri sebesar USD 372,864 miliar atau Rp 5.592,96 triliun (sesuai asumsi APBN 2019, 1 USD = Rp 15.000). Terdiri dari utang Pemerintah USD 180,462 miliar, utang Bank Sentral USD 3,055 miliar dan utang swasta USD 189,347 miliar. Dari data SULNI tersebut juga diketahui utang luar negeri Pemerintah pusat naik dari USD 123,806 miliar di akhir 2014 menjadi USD 180,462 miliar di akhir 2018, atau naik USD 56,654 miliar atau naik 67,2 persen selama 4 tahun.
Total utang Pemerintah pusat per November 2018 sebesar Rp 4.395,9 triliun. Angka ini naik hingga Rp 467,3 tri
liun dalam periode setahun. Total utang itu terdiri dari pinjaman sebesar Rp 784,3 triliun dan utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.611,5 triliun (Cnbcindonesia.com, 21/12/2018).
Makin besarnya jumlah utang tentu mengakibatkan beban dan dampaknya juga makin besar. Di antaranya, APBN akan terbebani pembayaran cicilan. Untuk tahun 2018, hingga November, realisasi pembayaran bunga utang Pemerintah mencapai Rp 251,1 triliun (Kontan.co.id, 9/12/2018).
Lalu pada APBN 2019 dialokasikan anggaran sebesar Rp 396,54 triliun. Terdiri dari Rp 275,88 triliun untuk pembayaran bunga dan Rp 120,66 triliun untuk cicilan pokok (Cnnindonesia.com, 12/12/2018).
Dalam konteks luar negeri, belenggu utang diduga membuat Pemerintah tidak berani menunjukkan pembelaan terhadap kaum Muslim Uighur yang tertindas dan dijajah oleh Tiongkok sejak invasi tahun 1949.
Rakyat pun pernah dijanjikan, bahwa impor berbagai komoditas, terutama kebutuhan pokok, akan dihentikan. Lagi-lagi, janji tinggal janji. Faktanya jauh dari realisasi.
Beras, misalnya, selama tahun 2018 sebanyak 2 juta ton diimpor dari Vietnam dan Thailand. Pemerintah juga telah memutuskan impor jagung sebanyak 100 ribu ton. Padahal tidak kekurangan. Bahkan surplus. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (Ditjen TP) Kementan, produksi jagung tahun 2018 diperkirakan mencapai 30 juta ton pipilan kering (PK). Padahal berdasarkan data dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, kebutuhan jagung tahun ini diperkirakan sebesar 15,5 juta ton PK. Masih surplus sebesar 12,98 juta ton PK (Finance.detik.com, 3/11/2018).
Hal yang tidak jauh berbeda terjadi pada komoditas gula. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada periode Januari - November 2018, impor gula rafinasi mencapai 4,6 juta ton. Dalam ketentuannya, gula rafinasi impor hanya untuk kebutuhan industri dan tidak untuk konsumsi. Artinya, tidak boleh dijual ke masyarakat. Padahal pada 2018, Kementerian Perindustrian menargetkan kebutuhan industri terhadap gula rafinasi hanya sebesar 2,8 juta ton. Itu artinya, sebanyak 1 juta ton lebih untuk konsumsi, dan itu menyalahi ketentuan (Industry.co.id, 14/1/2019).
Boleh jadi itulah salah satu sebab gula petani tidak terserap dan menumpuk di pabrik.
Faisal Basri, ekonom senior INDEF, mengomentari hal ini, "Impor 4,6 juta ton (2018). Kebutuhan hanya 3 juta ton. Selebihnya? Mengalir ke pasar untuk gula konsumsi. Pemerintah menggunakan untuk stabilitas harga di pasar. Padahal sebelumnya Pemerintah mengatakan, gula rafinasi tidak boleh dipasarkan karena tidak baik bagi kesehatan. Sekarang Pemerintah pakai gula rafinasi untuk stabilisasi harga," kata Faisal.
Menurut dia, impor gula ini seharusnya bisa dihentikan dengan peningkatan produksi gula rafinasi di dalam negeri. Namun, Pemerintah secara sengaja menghambat peningkatan produksi gula di dalam negeri. "Kalau Anda lihat, Pemerintah kasih izinnya di daerah yang nggak mungkin tanam tebu; Cilegon, Banten, kecuali Cilacap. Deli Serdang nggak ada tanaman tebu, Makassar nggak juga. Inilah kacaunya Pemerintah. Jadi sepenuhnya bisa dikatakan, gula rafinasi ini stempel untuk berburu rente, menikmati selisih yang sangat besar antara gula Indonesia dan gula dunia," tutur Faisal (Industry.co.id, 14/1/2019).
Boleh jadi perburuan rente itulah motif di balik terus berlanjutnya ketergantungan pada impor dalam banyak komoditas seperti beras, jagung, kedelei, gula, garam, bawang dan lainnya. Patut diduga, itu menjadi modus balas jasa kepada para cukong yang memberikan backing modal untuk meraih kekuasaan. Selain itu, penunjukkan pejabat dari kelompok sendiri secara nepotisme tentu lebih mudah untuk mengakomodasi balas jasa melalui perburuan rente itu. Yang demikian, dalam pandangan Islam, termasuk ghisyyu (menipu) rakyat. Rasul saw bersabda:

«مَنْ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى عِصَابَةٍ وَفِيهِمْ مَنْ هُوَ أَرْضَى اللَّهُ عَنْهُ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالْمُؤْمِنِينَ»

Siapa yang mengangkat seorang laki-laki atas dasar kelompok, padahal di tengah mereka ada orang yang lebih Allah ridhai, maka sungguh dia telah mengkhianati
Allah, Rasul-Nya dan kaum Mukmin (HR Ahmad dan al-Hakim).

Jelas, semua janji di atas—dari puluhan janji penguasa—adalah janji palsu karena jelas tak terbukti. Semuanya lebih layak disebut janji bohong atau bahkan telah menjadi kebohongan itu sendiri. Selayaknya, itu sudah cukup membuat rakyat tidak lagi mau terus dikibuli. Tentu konyol jika sudah begitu rupa masih saja ada yang setia mempercayai apalagi mendukung dan menolong pemimpin dalam kebohongan itu.
WalLâh alam bi ash-shawâb. []


Hikmah:

Rasulullah saw bersabda:

«إِنَّهُ سَتَكُوْنُ بَعْدِي أُمَرَاءُ مَنْ صَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الْحَوْضَ وَمَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَلَمْ يُعِنْهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَهُوَ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُ وَهُوَ وَارِدٌ عَلَيَّ الْحَوْضَ»

Sungguh akan ada sesudahku para pemimpin, yang siapa saja membenarkan mereka dalam kebohongan mereka dan membantu mereka atas kezaliman mereka, maka ia bukan golonganku dan aku pun bukan golongannya dan ia tidak akan masuk menemaniku di telaga. Sebaliknya, siapa yang tidak membenarkan mereka di dalam kebohongan mereka dan tidak membantu mereka atas kezaliman, maka ia termasuk golonganku dan aku termasuk golongannya dan ia akan masuk ke telaga bersamaku.
(HR an-Nasai, al-Baihaqi dan al-Hakim).

Download PDF di http://bit.ly/2SZAifx